Konsultan
Begitu aku melangkahkan kakiku
memasuki rumah, terdengar suara kucing yang semakin mendekat. Akane, dalam
keadaan bersih dan wangi, menyambutku dari ruang makan.
“Mama pulang,” kataku,
menggendong Akane setelah meletakkan bola basket pemberian Raga di sofa. “Uww,
wanginya.”
Mbok Yati yang hari itu terpaksa
telat pulang karena menungguku pulang muncul dari ruang makan juga. “Eh, Mbak,
udah pulang...”
“Iya Mbok, makasih ya udah
mandiin Akane,” ujarku senang.
Mbok Yati mengangguk. “Iya Mbak.
Tadi dia mau saya kasih makan...” Mbok Yati menunjukkan kantung makanan kucing
yang dibawanya.
Aku mengambil alih memberi makan
Akane sementara Mbok Yati mencuci tangannya dan menyiapkan makan malam.
“Maaf ya Mbok jadi pulang telat,”
kataku agak keras, agar Mbok Yati bisa mendengarnya meski ada di dapur.
“Nggak apa-apa, Mbak...” aku bisa
mendengar Mbok Yati tertawa.
Kuhempaskan diriku di sofa, lelah
karena kejadian hari ini. Setelah berpisah dengan Raga aku memasuki mobil Oki
dengan wajah memerah karena teman-teman tak henti-hentinya menyorakiku–jelas
mereka sudah melihat adegan penarikanku ke dalam pelukan Raga–dan aku berusaha
keras tidak melirik Satria. Barulah aku berani memandang Satria terus-terusan
ketika aku sudah berada di mobil Oki dan tidak terlihat dari luar. Satria
menuju tempat parkir motor dan dia meluncur kencang keluar GOR.
Oki bercerita bahwa mereka akan
pergi ke tempat Brian untuk berkumpul sejenak sebelum latihan futsal malam ini
di tempat biasa. Dia mengajakku dan Hannah. Kubilang aku tidak ikut, karena aku
terlalu lelah. Aku tidak tahu dengan Hannah, tetapi Oki bilang Hannah juga
menolaknya. Aku merasa paham alasan Hannah menolak ajakan Oki untuk pergi ke
tempat latihan, karena akhir-akhir ini dia sedang sibuk dengan praktikumnya
yang banyak. Belum lagi responsi-responsi yang akan tiba di bulan depan. Raga
juga bilang dia mau tidur sebentar sebelum membaca-baca buku praktikum
Mikrobiologi untuk responsinya tiga hari lagi.
Setelah bersantai sebentar di
sofa, aku mengambil handuk dan segera membersihkan diri sebelum menyantap makan
malam. Tidak berniat belajar, aku menyalakan laptopku dan mengetik beberapa
paragraf untuk kuposting di blog. Tentu saja tulisanku tidak jauh-jauh dari
kejadian hari ini–fokus utamanya sih tentang bola basket dan pernyataan cinta.
Jemariku terhenti sejenak ketika
menulis tentang pernyataan cinta cowok yang lebih muda sekian tahun daripada
cewek yang ditembaknya. Aku masih merasa bersalah pada Raga, tentu saja. Dan
dia bilang mau menungguku. Bagaimana kalau penantiannya sia-sia, pikirku muram.
Memang sih, akhir-akhir ini aku sudah tidak ‘Satria! Satria!’ lagi. Tetapi
mataku masih sering sekali punya keinginan bawah sadar untuk memandang Satria,
sedetik saja.
Dan bukannya akhir-akhir ini aku masih sering kesal kalau ingat pengakuan Fazzie
(atau pernyataan?) bahwa Satria menyukainya? Bukannya aku sangat kesal pada
tingkah mereka di kelas yang kadang saling bertatapan (atau mungkin tidak
sengaja) dan Fazzie tersenyum penuh arti? Bukannya aku sangat kesal kalau
Fazzie yang pindah duduk ke dekat Satria pada waktu praktikum Prostodonsia di
lab, padahal tempat duduk kelompok Fazzie jelas-jelas tidak berada di dekat kelompok
Satria?
Oke, yang barusan terdengar
sangat immature.
Wajar kan kalau aku–okelah,
saatnya kita menggunakan kata ini–CEMBURU?
Karena aku menyukai Satria; atau kupikir begitu.
Aku jelas masih menyukai Satria,
ditilik dari bagaimana perasaanku waktu berpapasan dengannya di lift RSGM–Rumah
Sakit Gigi dan Mulut–ketika aku hendak menuju lantai empat tempat dosen
pembimbing akademik-ku berada. Dia baru saja keluar dari laboratorium teknik
gigi setelah menyerahkan model gips-nya untuk di-processing di tekniker. Atau betapa aku ingin melompat-lompat
ketika aku mendapati pandanganku tidak sengaja dipandang olehnya. Atau tentang
aku yang kebetulan bertemu dengannya di pintu masuk kelas ketika aku berniat
membuang sampah keluar dan dia baru masuk ke dalam kelas.
Namun di atas semua itu, aku
menyadari penuh-penuh bahwa kenyataannya, Satria dan aku–yang dulu sempat
bertukar pesan singkat via ponsel–tidak lagi sedekat dulu. Entah bagaimana kami
saling menjauh satu sama lain. Aku bingung harus bersikap bagaimana, apakah aku
harus kembali mengejar Satria atau menunggunya bertindak seperti yang dulu-dulu
(misalnya mengajakku makan siang lagi, atau apa), karena
‘mengejar-cowok-untuk-mendapatkan-cintanya’ bukanlah prinsipku sama sekali. Aku
tidak bisa membuat seorang cowok yang baru dikenal (dan kebetulan dia ini
tipeku, misalnya) langsung jatuh cinta padaku dengan tindakan-tindakan
‘agresif’-ku. Aku lebih suka menyukainya diam-diam. Mengamatinya diam-diam.
Untuk kasus Raga... dialah yang
duluan blak-blakan. Oke, aku memang kagum pada kebiasaan-kebiasaannya yang
membuatku berdebar, tetapi aku juga tidak jatuh cinta padanya.
Bukannya aku tidak suka Raga,
hanya saja...
Mungkin ini terlalu cepat.
Segera kuakhiri tulisanku sebelum
aku menulis kegalauanku lebih lanjut (atau bercerita lebih jujur), kemudian
kutekan tombol publish. Kutinggal
laptopku sebentar untuk mengantar Mbok Yati yang sudah dijemput oleh suaminya,
tepat pukul tujuh malam. Merasa bersalah pada Mbok Yati karena seharian berada
di rumahku, aku memberikannya sebungkus cookies
cokelat yang kusempatkan untuk membelinya di perjalanan pulang tadi.
Jam tujuh. Harusnya jam segini
Oki dan teman-temannya sedang latihan futsal untuk pertandingan final besok
sore.
Mengingat kata-kata ‘pertandingan
final’ membuatku sakit perut, karena otakku langsung mengasosiasikannya dengan
dugaan Fazzie bahwa Satria akan menembaknya... bodoh. Memikirkannya saja aku
sudah kesal sekali. Bisa-bisanya ya,
cewek itu...
Aku menarik napas perlahan-lahan,
menenangkan diriku sendiri. Kubuka Media
Player-ku dan kuputar lagu G.NA berjudul Green Light–yang dinyanyikannya berduet dengan Jay Park. Bukan
jenis lagu yang mellow, tentunya. Cukuplah untuk menaikkan mood-ku sedikit.
Kok
Satria nggak pernah sms lagi, ya.
Bego, pikiran begini
sempat-sempatnya terlintas di pikiranku. Sudahlah...
Kemudian ponselku berdering.
Intro lagu The Chaser (aku sudah
mengganti ringtone ponselku dari Baby I’m Sorry) mengalun di kamarku,
bersahut-sahutan dengan suara televisi di ruang tengah.
“Halo?” kataku.
“Kenapa kamu?” tanya Nathan Arya
Raldian–kakakku.
“Kenapa apanya?” gumamku bingung,
sembari mengutak-atik situs 9gag.
“Tulisanmu.”
“Ya ampun, Kakak udah baca?” aku
benar-benar ternganga, dan secara otomatis aku membuka jendela browser yang menampilkan halaman blog-ku.
“Aku baca terus lah.”
“Kakak dimana?”
“Di kantor, lembur,” jawab Kak
Nathan, tampaknya sedang mengunyah sesuatu. “Kamu udah makan?”
“Belum.”
“Makanlah, kamu itu. Kakinya
gimana?”
“Udah dilepas kok perbannya. Iya
ini mau makan, Mbok Yati baru aja pulang.”
“Kok malam betul?”
“Aku pulang telat...”
“Tuh, kan, kenapa? Bilang nggak?”
Aku mendesah panjang.
“Ada yang nembak kamu?” tebak Kak
Nathan, selalu tepat.
Aku mengangguk.
“Halo?”
Aku baru sadar bahwa Kak Nathan
yang berada di kota yang berbeda tidak akan bisa melihat anggukanku. “Iya, Kak.
Aku bingung.”
“Bukannya kamu lagi suka sama
temen sekelasmu? Yang kamu ceritain dulu itu. Siapa namanya... Budi? Andi?
Iwan?”
Aku mendengus tertawa mendengar
nama-nama yang seperti didikte dari buku pelajaran anak SD itu. “Satria,”
ralatku otomatis.
“Oh, itu ya namanya,” kudengar
Kak Nathan tertawa.
“Eh,” aku bengong. Benar juga,
Kak Nathan tidak pernah mendengar namanya secara langsung, aku tidak pernah
memberitahukannya!
“Haha,” ujar Kak Nathan, “gotcha. Jadi, siapa yang nembak kamu?
Satria?”
“Bukan,” wajahku memerah. “Meski
aku berharap...”
“Suruh dia temui aku dulu baru
kamu boleh berharap.”
Sister
complex-nya
muncul lagi.
“Namanya Raga...” aku memulai.
“Adik angkatanku.”
“Junior? Siapa namanya? Raga?
Nama lengkap?”
“Raga Bhakti Priandika,” jawabku
tanpa berpikir. “’Bhakti’-nya pake ‘h’.”
Aku menebak Kak Nathan sedang
membuka Facebook dan mencari profil Raga. Kadang kupikir sifat kepo-ku menurun
dari dia. Kak Nathan, maksudku.
“Hmmm,” gumam Kak Nathan. “Tinggi
ya, dia.”
“Iya... anak basket–kapten tim,”
ceritaku lagi.
Kemudian ceritaku mengalir begitu
saja. Tentang kecelakaan itu. Tentang awal mula aku kenal dia. Tentang dia yang
memanggilku noona. Tentang chatting dan mention itu. Tentang tulisan ‘IMA’ di profil Twitter-nya. Tentang
pertandingan basket kemarin dulu itu dan hari ini. Tentang bola basketnya.
Kuceritakan secara runtut dan mendetail, sampai-sampai situs 9gag-ku kuabaikan.
Setelah kupikir ulang, rasanya
baru kali inilah aku bercerita langsung kepada orang–spesifiknya: Kak Nathan–setelah
selama ini aku hanya mengetik diari dan menulis fiksi di blog. Bahkan Oki dan
Hannah tidak tahu keseluruhan ceritanya. Oki hanya tahu sepotong-sepotong,
Hannah tidak mendesakku untuk bercerita lebih banyak (karena dia terlalu
disibukkan oleh gambar-gambar Histologi dan bakteri-bakteri dari praktikum
Mikrobiologi).
“Woh,” kata Kak Nathan ketika aku
berhenti untuk menarik napas dan membiarkannya berkomentar. “Bola basketnya
tulisannya tulisan Korea, gitu? Belajar darimana dia?”
“Katanya sih dari Running Man,”
aku nyaris tertawa mengingat ini. “Dia mirip banget Joong Ki waktu Running Man
episode 15, Kak, yang pura-puranya dia nembak Ji Hyo itu lho.”
“Siapa, siapa?” Kak Nathan
menguap. Dia tidak pernah tertarik pada hal-hal berbau Korea.
“Sori, sori,” ujarku cemberut.
“Jadi dia ini kapten basket,
tinggi, blak-blakan, dan penggemar Running Man?” simpul Kak Nathan. “Oh, well, dia juga penggemarmu.”
Mukaku memerah lagi. “Tapi
Satria...”
“Kamu udah jarang ngomongin dia
di blog-mu.”
“Masa sih?” pikirku heran. “Kak,
masa ada... cewek yang nyangka Satria suka dia?”
“Eh, pede banget,” komentar Kak
Nathan.
“Kepedean kan? Tapi emang sih...
dia cantik... tapi aku yang–paling enggak–udah hampir deket sama Satria aja
nggak akan sampai pada keputusan kalau Satria suka aku, Kak, tapi dia... dia
yang cuma disorakin aja udah ngira Satria suka dia...”
“Karena kamu beda sama dia, kamu
itu sedikit-sedikit bimbang, sedikit-sedikit nggak percaya, padahal juga dia
udah dateng ke rumah bawain bubur waktu kamu sakit...”
“Satria emang baik sama semua
orang, Kak!”
“Sebaik-baiknya orang sama orang,
siapa sih yang mau buang-buang waktu beliin bubur terus dateng ke rumah orang
yang sakit, kalau dia nggak punya perasaan khusus sama orang yang sakit?”
“Ya mungkin karena dia kebetulan
aja...” aku tak bisa memberi jawaban.
“Kebetulan apa?”
“Pokoknya Satria nggak mungkin
suka sama aku, Kak!”
“Gini ya, Dek,” kata Kak Nathan
sabar. “Jangan pake kata ‘pokoknya’ deh. Kemungkinan itu pasti ada, sepersekian
persen sekalipun. Bukannya aku minta kamu untuk berharap, malah aku berharap
kamu nggak berharap, karena kalau misalnya si Satria ini ternyata suka sama
orang lain dan cuma nganggep kamu teman, atau sahabat lah, atau adik lah,
kamunya juga kan yang repot. Nah sekarang kamu pikir baik-baik perasaan Raga,
pikir lagi perasaan kamu ke dia. Kamu suka nggak sama Raga? Kamu merasa bisa
nggak ngejaga perasaan Raga?”
“Ya siapa sih Kak yang nggak tersentuh
kalau diperlakukan kayak gitu sama cowok.”
“Sama Satria lebih tersentuh
mana?”
“Lebih tersentuh Satria, lah,”
kataku pasti.
“Terus, Raga siapa dimatamu?”
“Mmm,” aku bergumam lama.
“Mmmmh.”
“Adik? Temen?”
“Nggak tahu. Temen mungkin.
Atau...” aku berpikir keras. “Nggak tahu, Kak. Aku cuma... seneng, ada yang
merhatiin. Seneng, ada yang suka...” aku bergumam lagi, lebih kepada diriku
sendiri. “Satria... katanya suka sama cewek yang itu, Kak. Yang ngira Satria
suka sama dia. Cewek itu dikasih tahu sama temennya Satria... dan katanya
Satria mau nembak cewek itu besok... di final futsal...”
“Hah? Kok jadi kompleks gini?”
“Nggak tahu, Kak,” kataku,
mengacak rambut. “Aku... aku mau nunggu dulu gimana jadinya besok. Satria sama
cewek itu beneran jadian, atau enggak...”
“Kalo enggak?”
“Kalo enggak... mungkin aku bakal
terima Raga.”
“Kalo iya?”
“Kalo iya...”
“Kamu nolak Raga?”
“Aku udah nolak Raga, Kak. Aku
udah bilang aku suka orang lain, dan dia bisa nebak dengan tepat bahwa itu
Satria, tapi Raga bilang dia akan nunggu...”
“Kalau menurutku, Dek,” ujar Kak
Nathan, “mungkin kamu lebih baik sama Raga. Mungkin–kalau aku lihat–dia bakal
bisa lebih sayang sama kamu, karena udah keliatan kan dia merhatiin kamu
banget, bahkan waktu dia belum kenal sama kamu. Setidaknya perasaannya lebih
jelas. Dia milikmu.”
Aku memikirkan perkataan Kak
Nathan dalam-dalam. Perasaan yang lebih
jelas... benar juga... setidaknya dia tidak mempermainkan perasaan cewek-cewek
lain dan menetapkan tujuannya pada satu orang... which is me.
“Satria...” ujarku, membela, tapi
ragu.
“...tidak jelas arahnya kemana,”
sela Kak Nathan. “Ya, kan?”
“Iya, sih,” kataku pelan,
terpaksa menyetujui.
“Daripada kamu sakit...”
Aku langsung ingat sesuatu. “He told me not to hurt myself...”
“Siapa?”
“Satria.”
“Mungkin saja lho, dia mengatakan
hal yang sama pada orang lain. Karena itu juga sering aku katakan pada orang
lain,” rasanya aku bisa mendengar Kak Nathan meneguk minumannya setelah bicara
seperti itu. “Tapi... YA?”
“Hah?” aku bingung karena Kak
Nathan kedengaran seperti menyahut setelah dipanggil seseorang, padahal aku
tidak memanggilnya.
“Bentaran nape, Ron. Adek gue
nih. Konsultasi percintaan. Lo mau juga nggak? Lima belas menit lima puluh
ribu,” kudengar Kak Nathan bicara agak keras, mungkin pada temannya di kantor.
Sesaat kemudian kudengar temannya berteriak ‘udah ngalahin tukang pijet aja lo,
lima belas menit lima puluh ribu’.
“Heh, konsultasi percintaan
apanya,” tegurku sinis.
“Lho, bener, kan?” Kak Nathan
tertawa. “Udah nggak galau? Udah nggak bimbang? Aku mesti rapat nih. Ternyata
makanku kelamaan.”
Kulirik wekerku yang sudah
menunjukkan pukul setengah delapan. “Kakak makan apa?”
“Burger doang kok,” jawab Kak
Nathan. “Kamu makan sekarang.”
“Iya, iya,” ujarku. “Makasih ya,
Kak,” kataku tulus.
“Ya, ya,” kata Kak Nathan. “Pas
pulang, jangan lupa seratus ribunya...”
“ASEM!”
Kak Nathan tertawa-tawa. “Anyway,” gumamnya lagi, “tell me when you’ve made your choice.”
“Eh, Kak, Kak!” seruku sebelum
Kak Nathan menutup teleponnya. “Kenapa Kakak langsung bisa nerima Raga tanpa
bilang ‘harus-temuin-aku-dulu-sebelum-kamu-jadian-sama-dia’?”
Kak Nathan terdiam lama di
telepon. “Entahlah,” katanya akhirnya, dan begitu dramatis, dia berkata, “miss you, Sis.”
“I miss you more,” ujarku di telepon yang sudah terputus.
*
* *