Mimpi Maya
Keesokan paginya aku terbangun
dengan kepala berat, membuatku terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar
mandi. Dan untuk membuatnya lebih buruk, aku menjatuhkan gelas melanin berisi
jus jeruk yang baru saja aku keluarkan dari kulkas. Tanganku tremor, lebih
parah daripada yang kuduga. Aku mengira ini adalah after-effects dari kejadian mengagetkan kemarin.
Bola basket berwarna oranye yang
menjadi saksi penembakan itu terpampang di deret paling atas rak bukuku. Bola
itu kutahan dengan model rahang dari gips yang sudah tidak terpakai (tidak bisa
dipakai karena model itu gagal, tidak menunjukkan beberapa struktur anatomis
yang harusnya ada di mulut temanku yang kucetak rahangnya) sehingga tidak akan
bergulir kesana kemari.
Sampai hari ini aku masih bingung
bagaimana cara untuk menanggapi Raga–aku takut karena hal-hal yang terjadi itu
akan mengubah hubunganku dengannya. Penolakanku, maksudku.
Aku juga masih penasaran dengan
Satria. Tentu saja aku ingat betul bahwa sore ini adalah pertandingan final
futsal melawan mahasiswa FISIPOL yang terkenal kompak. Aku juga ingat kok bahwa
kalau dugaan Fazzie benar, harusnya Satria meminta Fazzie untuk jadi pacarnya di
final hari ini.
SIAL.
Kenapa ya setelah Fazzie bilang
begitu aku justru semakin sering memandangi Satria? Mungkin untuk melihat
ekspresinya ketika Fazzie lewat dengan manis di depannya. Mungkin untuk melihat
tanda-tanda ‘Satria-suka-Fazzie’ ketika Fazzie tak sengaja beradu pandang
dengan Satria. Mungkin untuk melihat apakah Fazzie sedang berusaha mendekati
Satria lagi hari ini–dengan cara membawa seluruh personil gengnya untuk duduk
tepat di depan Satria ketika kelas Ortodonsia.
Hebat. Aku yang biasanya acuh tak
acuh sekarang sungguh dialihkan perhatiannya oleh seorang cewek cantik yang
mengaku bahwa orang yang kusukai menyukainya. Terima kasih banyak.
Kubereskan tumpahan jus jeruk di
lantai, kemudian meletakkan gelas melanin yang jatuh di bak cucian. Tepat saat
itu bel rumahku berbunyi. Mbok Yati baru saja datang.
“Aku makan roti aja, Mbok...”
kataku pada Mbok Yati, mencegahnya membuat sarapan. Aku sudah membuat sandwich
selai kacang dengan roti yang tersisa–tanggal kedaluwarsanya hari ini, maka
kuhabiskan saja semua. Selesai sarapan aku menghambur ke kamar mandi karena
jamku sudah menunjukkan pukul enam. Hari itu aku kuliah pukul tujuh pagi.
Seperti jaman sekolah saja.
Kusambar box berisi adaptor, minidrill,
beberapa bur, dan tentu saja pekerjaan praktikum Prosto-ku–gigi tiruan sebagian
lepasan, yang sudah dipatahkan menjadi dua. Bukan apa-apa, tak perlu menangis
ketika kau tahu pekerjaan Prosto-mu patah, sebab memang itulah praktikumnya; menyambung resin akrilik yang patah. Praktikum
hari ini mungkin aku akan melanjutkan penyambungan resin.
Sembari pamit pada Mbok Yati, aku
meletakkan box Prosto di keranjang sepeda dan melaju menuju kampus sambil
mendengarkan Infinite sealbum penuh. Mood-ku
sudah bagus sesampainya di kampus. Kusapa satpam yang menjaga kampusku, juga
petugas kebersihan yang sedang mengepel koridor. Kelas masih sepi, seperti
biasa aku datang kepagian. Sudah jam setengah tujuh (atau baru jam setengah tujuh?) dan anak-anak masih belum datang.
Biasanya jam tujuh kurang sepuluh barulah kelas ramai orang.
Satria biasanya datang di jam-jam
telat, sekitar semenit atau paling lama lima menit setelah dosen masuk. Aku
tidak tahu dia telat karena apa–karena kosannya jauh, atau jalanan macet, atau
apalah–dan aku juga tidak tahu dia tinggal dimana. Kuharap dia tidak tinggal di
daerah yang sama dengan kosan Fazzie, atau sebaliknya.
Aku meletakkan tasku di kursi dan
setengah membanting tubuhku duduk di kursi itu. Kuletakkan box praktikum-ku di bawah kursi. Dengan kalem aku menguap
lebar-lebar, lalu menelungkupkan kepala di dalam lenganku di atas meja. Headphone masih terpasang di kepalaku,
lagunya mengiringiku tertidur sesaat.
Aku tak tahu berapa lama aku
tidur. Hanya saja ketika aku terbangun mendadak, kelas masih sepi. Baru ada
sekitar lima-enam orang yang mengisi kursi-kursi di depanku. Kulihat arlojiku.
Tujuh kurang lima. Dalam hati aku membatin kesal, kemana sih orang-orang? Karena pagi ini kelas Bedah Mulut dan
dokternya jelas tidak menolerir keterlambatan bahkan lewat lima menit.
Sembari meregangkan tangan, aku
menggerak-gerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Beberapa teman yang duduk di
depan menyapaku.
“Naik sepeda, May? Pagi
banget...” tegur Alva.
“Iya, takut macet,” kataku
tersenyum.
“Udah nggak apa-apa emang
kakinya?”
Aku mengangguk. “Udah dilepas
dokter kok perbannya...”
“Baguslah...”
“May, udah sarapan belum? Ada
jajanan nih...” Yuna menyodorkan kotak dagangannya. Ada donat, risoles, kroket,
dan arem-arem. Terlihat menggiurkan sebenarnya.
“Buat apaan, Yun?” tanyaku,
karena biasanya jajanan seperti ini akan muncul kalau ada acara-acara tertentu
yang diadakan BEM atau fakultas. Biasanya juga para danus acara-lah yang akan
menjajakan snack-snack itu di pagi hari di kala anak-anak tidak sempat sarapan
sebelum kuliah pagi-pagi buta, seperti hari ini. Oh, dan hari-hari biasa;
karena kami selalu kuliah pagi.
“Buat nambah-nambah uang kuliah,”
Yuna nyengir. “Nggak, ini buat acara BEM...” Tuh, kan.
Aku manggut-manggut. “Aduh sayang
sekali aku udah sarapan,” tolakku halus. “Berapaan sih?”
“Dua ribu,” Yuna manyun karena
dagangannya tidak laku. “Ayo deh, satuuuu aja. Kroketnya enak lho.”
Aku nyengir pasrah. “Kenyang...”
Yuna tetap tersenyum. Kemudian
dia beralih ke tempat duduk di deretan belakang. “Oke deh. Satria, belum
sarapan kan? Nih...”
Hatiku mencelos mendengar nama
itu dipanggil. Otomatis aku menolehkan kepalaku ke belakang. Ternyata Satria
ada di kursi dua deret belakangku. Mungkin dia sudah datang waktu aku tertidur
selama beberapa saat tadi. Aku tidak sadar.
Selama sedetik aku memandang Satria
yang sedang memilih-milih jajanan yang didagangkan Yuna. Dengan cepat aku
mengalihkan pandanganku ke depan. Kudengar suara pintu yang ada di belakang
kelas terbuka, dan satu demi satu anak-anak mulai mengisi kelas. Jam tujuh
tepat.
“Eh, May,” mendadak Alva yang
tadi duduk di depan berpindah ke kursi di sebelahku. “Gimana... sama adik
angkatan yang kemarin?”
“Hoh?” tanyaku heran. “Raga?”
“Kemarin kamu ditembak kan sama
dia?”
“Hoh.”
Aku sudah menduga kapan topik ini
muncul ke permukaan. Hanya masalah waktu sebelum anak-anak perempuan sekelas
menanyaiku soal Raga. Sudah kubilang kan, di FKG, tembok bisa mendengar.
Mendadak sudah ada tiga-empat
orang yang mengelilingiku untuk mendengar ceritaku.
“Kamu tahu darimana?” tanyaku
bingung, karena tidak ingat melihat Alva di GOR kemarin.
“Ah, beritanya kan udah rame di Twitter...
kamu nggak buka Twitter?”
Aku mengernyit. “Buka sih... tapi
nggak liat tuh... aku buka tadi pagi...”
Tari, yang duduk di sebelahku,
manyun. “Yeeeh, ramenya kan tengah malem tadi...”
Rasanya aku bisa menebak kenapa
sebagian besar anak-anak kelasku telat masuk pagi ini.
“Terus jadinya kamu pacaran dong
sama dia?” tanya Alva mendesak.
“Ng?” aku mengangkat alis. “Nggak
juga...”
“Lho? Kamu nggak nerima dia?”
tanya Yuna yang juga sudah bergabung.
“Aku...”
Bunyi pintu terdengar dari
belakang. Nyaris serempak, orang-orang yang ada di kelas menoleh ke belakang
untuk melihat siapa yang datang. Ternyata dosen Bedah Mulut kami. Aku merasa
berterima kasih pada beliau, lega karena kerumunan orang yang tadi
mengelilingiku bubaran, dan tidak mendesakku lagi untuk bercerita lebih lanjut.
“Jadi... bener ya yang ditulis si
Raga-Raga itu saranghaeyo?” bisik
seseorang.
Aku memandang Tari di sebelahku
dengan tidak percaya. Rupanya dia benar-benar penasaran.
*
* *
Toko alat-alat kesehatan gigi
yang ada di kampusku pagi itu ramai, karena anak-anak kelasku
berbondong-bondong kesana untuk membeli bur yang diperlukan untuk praktikum
nanti. Aku sendiri berniat membeli crownmess–semacam
pisau kecil multifungsi–karena milikku sudah hilang beberapa pekan lalu. Di
laboratorium FKG, kau akan sering mengalami hal-hal seperti ini kalau kau tidak
melabeli alat-alat praktikum dengan namamu sendiri. Aku sudah kehilangan crownmess dan spatulaku di semester ini.
Karena toko itu cukup kecil dan
tidak cukup kalau aku ikut mendesak masuk ke dalamnya, akhirnya aku menunggu di
luar sebentar, menunggu anak-anak keluar satu per satu. Tak lama kemudian
rombongan Fazzie dan geng cantiknya datang, disusul kerumunan cowok yang tak
terpisahkan sejak semester satu itu. Entah angin apa yang membuat mereka semua
berkumpul di depan toko alat-alat itu.
Aku tidak mau kelihatan begitu
keras berusaha menghindari memandang Satria terus-menerus.
Fazzie langsung menghampiriku dan
memberondongku dengan pertanyaan yang nyaris sama dengan pertanyaan Alva tadi
pagi. “Ah, iri deh sama kamu, ditembak terang-terangan gitu,” kata Fazzie
centil (sebenarnya sih dia bicara dengan suaranya yang biasa, hanya saja entah
kenapa hari ini aku menganggap suara itu terlalu berlebihan–memekik agak
kencang sehingga menarik perhatian orang-orang di sekitar).
“Nggak juga,” ujarku datar, dan
berharap dia tidak terus-terusan mengutarakan hal itu. Kalau aku boleh jujur,
rasanya Fazzie melakukan itu untuk menarik perhatian Satria–dengan kata lain, dia ingin ditembak dengan cara yang lebih
menyentuh daripada cara Raga menyatakan perasaannya padaku. Dan aku benci itu.
Oki mengajakku makan bersama
teman-teman futsalnya yang biasa itu. Rupanya mereka hendak sarapan sebentar di
kantin terdekat, kemudian baru pergi ke laboratorium Prosto. Praktikum ini
memang cukup santai, karena tidak ada asisten mahasiswa seperti
semester-semester lalu. Tetapi kau harus mencari dosen pembimbingmu sendiri
untuk meminta nilai pekerjaanmu. Kadang dokter-dokter itu belum datang waktu
kau sudah menyelesaikan satu pekerjaan, sehingga kau bingung harus melakukan
apa.
Aku menolaknya dengan halus dan
kubilang aku sedang diet, yang membuat Oki tertawa berderai-derai. Kesal,
kutumbuk perutnya.
“Kak Maya?” sapa seseorang yang
baru keluar dari tempat fotokopi di sebelah toko alat-alat KG itu.
“Raga?” aku berseru heran, namun
entah kenapa cukup senang melihatnya. “Ngapain...?”
“Fotokopi tugas Biomat, Kak,”
Raga mengeluarkan eye smile yang
manis. “Praktikum ya Kak?” dia melirik box
yang kubawa, serta mungkin melihat jas praktikum yang sudah kupakai.
Aku mengangguk. “Mmm. Prosto...”
kataku. “Tapi mau beli crownmess
dulu...” aku berhenti karena keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Mendadak
tempat itu jadi sepi dan semua orang yang tadinya berkumpul di depan toko
menyingkir agak jauh. Mereka (yang notabene teman-teman seangkatanku)
berbisik-bisik sembari tersenyum-senyum sendiri.
“Aish,” kataku tak acuh. “Kamu
nggak kuliah?”
“Jam sembilan,” Raga melirik
arlojinya. “Keluar sebentar fotokopi ini...”
“Maya, duluan ya,” kata Alva dari
belakangku, tapi terdengar seperti ‘silakan-bersenang-senang’ bagiku.
Aku mengangguk.
Oki menepuk bahuku pelan.
“Beneran... nggak mau ikut makan? Oh...” dia pura-pura tersadar akan sesuatu
(aku kenal sekali ekspresi itu), “Raga. Selamat ya menang. Juga gelar MVP-nya,”
dia menjabat tangan Raga, yang membalas dengan ramah. “Silakan... teruskan...”
“Oi, Ki!” teriak Ary dari
belakang kami. “Biarin... mereka...” Ary tidak melanjutkan kalimatnya, karena
secara mendadak aku memfokuskan pandangan sinisku padanya.
Oki dan teman-temannya akhirnya
pergi untuk sarapan.
“Crownmess Kakak hilang?” tanya Raga seolah tidak ada interupsi
apa-apa di percakapan kami tadi.
“Iya, biasalah.”
“Mau pinjem punyaku?”
“Kamu bawa?”
“Enggak,” Raga nyengir.
“Dasar...” aku tak habis pikir
dengan anak ini. Dia lalu pamit untuk bergegas pergi menuju kelasnya, karena
waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang dua menit di jam digitalnya.
Toko alat KG itu sekarang sepi,
dan langsung saja aku membeli sebuah crownmess
dengan uang yang tersisa di dompetku. Dengan perasaan senang yang tak bisa
dijelaskan aku berjalan menuju laboratorium Prostodonsia, menandatangani
presensi, dan duduk di tempatku biasa duduk, di kelompokku.
“Cie yang seneng habis ketemu,”
aku mendengar suara Alva yang lewat di belakangku. Aku hanya nyengir.
“Enaknya ketemu pagi-pagi...”
lagi-lagi suara Fazzie yang tidak kusukai muncul.
“Kebetulan...” kataku menjelaskan
dengan tidak sabar.
“Ketemu siapa, May?” tanya teman
sekelompokku yang sudah datang sedari tadi–Kelly.
“Raga...”
“Ciee...” sorakan norak keras
terdengar di kelompokku. Kuabaikan celetukan-celetukan menggoda dari
teman-temanku itu dan memfokuskan perhatianku pada plat resin akrilik yang
sedang kupreparasi untuk kemudian disambung lagi.
*
* *
Praktikum Prostodonsia hari Jumat
selesai jam sebelas kurang sepuluh. Selepas itu kami sudah tidak ada kuliah
lagi sampai besok Senin. Jadi aku membereskan alat-alat praktikumku, senang
karena plat resin akrilik-ku sudah disambung dengan resin yang bisa mengeras
sendiri alias self-cured resin,
tinggal membuatnya menjadi halus dan platku akan kembali seperti semula, dan
pekerjaanku selesai.
Raga mengirimiku pesan singkat
tepat ketika aku hendak pulang dengan sepedaku, isinya menanyakan apakah dia
boleh menjemputku untuk menonton pertandingan futsal nanti sore. Hannah
mengirimiku pesan yang isinya hampir sama, hanya saja di kalimat-kalimat
terakhir pesan Hannah berisi curhatannya tentang kecemasannya terhadap Oki. Aku
menjawab Raga dengan tidak, dan aku menyetujui ajakan Hannah. Sedikit merasa
bersalah pada Raga, sih, tetapi kupikir ini baik untuk tetap menjaga agar
hubungan kami tidak berubah–tidak lebih mendekat tetapi juga tidak malah menjauh.
Kukayuh sepedaku menuju ke rumah,
mengernyit sedikit karena matahari yang cukup terik siang itu. Panas siang itu
menambah kekesalanku sejak kejadian yang terjadi di praktikum Prosto tadi.
Sederhana saja sebenarnya, Fazzie
mulai bergenit-genit lagi pada Satria. Tapi, aku tidak suka. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaanku kalau nanti Satria benar-benar jadian dengan
Fazzie. Terlalu takut untuk memikirkannya. Hanya bisa berharap bahwa semua itu
cuma mimpiku.
Pukul setengah satu siang setelah
makan siang dan melepas kepergian Mbok Yati, aku diserang rasa kantuk yang
teramat sangat. Kuputuskan untuk tidur sejenak sebelum Hannah menjemputku pukul
setengah empat sore nanti.
*
* *
Aku mendapati diriku berada di
kelas seperti biasa, sedang mendengarkan penjelasan dokter yang kukenal yang
mengajar Radiologi Dental. Yang tidak biasa adalah posisi dudukku, entah kenapa
hari itu aku memutuskan untuk duduk di deretan belakang yang biasanya (pasti)
ditempati anak laki-laki. Memang sudah sejak bertahun-tahun yang lalu, anak
laki-laki pasti duduk di belakang; dan anak-anak perempuan mengisi deretan
depan.
Mungkin hari itu aku telat masuk,
aku tidak ingat.
Aku melihat punggung yang amat
kukenal karena sering sekali memerhatikannya sejak dulu–Satria, duduk dua deret
di depanku. Punggung itu sedang menelungkup di mejanya, entah dia tidur atau
malas mendengarkan dosen. Tetapi kemudian seseorang yang duduk di sebelahnya–teman
perempuan yang sering satu kelompok dengannya, yang paling sering aku cemburui,
jadi aku tidak ingin mengingat namanya–menepuk-nepuk kepala Satria dan lalu memijit-mijit
punggungnya. Satria sakitkah?
Tak kupedulikan adegan romantis
itu dan kembali menyalin sesuatu dari slide dosenku. Entahlah, aku tak tahu apa
aku benar-benar tidak peduli atau kelihatan tidak peduli, aku tidak bisa
memastikan. Tapi, hari itu aku tidak peduli bahwa Satria sakit.
Kelas selesai, dan aku
membereskan barang-barangku. Ketika aku sedang memasukkan binder ke dalam tas,
aku mendengar suara Satria yang batuk-batuk. Dia kelihatan lemas sekali. Aku
hanya melihatnya sekilas, lalu buru-buru keluar dari kelas itu sebelum aku
memutuskan untuk sedikit khawatir padanya.
Ternyata ruangan untuk kelas
berikutnya yang berada di sebelah ruangan tempat kuliah Raden-ku tadi belum
dibuka–masih ada mahasiswa-mahasiswa yang belajar di ruangan itu. Akhirnya aku
menunggu di luar ruangan, duduk di kursi, yang segera diikuti oleh beberapa
teman sekelasku. Satria dan teman-temannya keluar dari kelas barusan, tampak
pucat.
Aku bisa mendengar teman-teman
Satria menyuruh cowok itu untuk pergi ke rumah sakit atau apa. Tetapi orang
yang diberi saran malah menggeleng dan bilang malas ke rumah sakit. Kemudian
entah darimana muncullah Marisa. Dia melenggang santai diantara anak-anak
seangkatanku, seolah dia anak angkatanku juga. Wajahnya cemas, dan dia meminta;
bukan, memohon, Satria untuk pergi ke dokter bersamanya.
Dahiku berkerut, merasa deja vu mendengar kalimat yang diucapkan
Marisa dengan muka nyaris-menangis-nya. Membenci keseluruhan adegan itu, aku
menghabiskan waktu seharian bermuka muram dan marah-marah sendiri. Biasanya
kalau sudah seperti ini, teman-temanku akan berusaha menghindari bertemu
denganku, atau sebisa mungkin tidak bicara denganku. Tetapi entah kenapa hari
itu berakhir dengan aku menangis di kamarku dengan Akane yang kupeluk-peluk dan
mengeong dengan sabar.
Besoknya, Satria tidak masuk
kuliah. Aku mendengar dari pembicaraan dua cewek di belakangku bahwa cowok itu
masuk rumah sakit. Mengabaikan informasi ini, dengan bersiul riang aku berjalan
menuju kantin untuk membeli roti keju.
Di kantin ternyata anak-anak
angkatanku ramai membicarakan Satria yang masuk rumah sakit. Menurut yang
kudengar (dengan tidak terlalu antusias), Satria diceritakan tiba-tiba pingsan
begitu sampai di kosannya setelah pulang kuliah kemarin siang. Dia langsung
dilarikan ke rumah sakit dan katanya sih harus diopname selama beberapa hari.
Rencananya beberapa teman dekatnya akan menjenguknya hari ini.
Oki muncul, mengajakku menjenguk
Satria. Aku menolaknya, dengan alasan ingin menonton drama Korea terbaru yang
dibintangi Jang Geun Suk dan Yoona–Love
Rain. Aku bisa melihat keheranan besar di raut muka Oki.
“Kenapa heran?” tanyaku
menantang. “Pergilah sana, dia temanmu kan.”
Sedikit bingung, Oki
meninggalkanku yang tersenyum melepasnya pergi.
Ketika akhirnya aku memutuskan
untuk menengoknya (karena katanya cuma aku saja yang belum menjenguknya,
sementara anak-anak sekelasku sudah) ditemani Oki, aku menemukan fakta bahwa
Satria dalam keadaan koma. Mulutku membulat tanpa suara, tetapi bahkan tidak
ada rasa gelisah atau khawatir di hatiku.
Justru Marisa yang
menangis-nangis di ruangan tempat Satria dirawat. Aku memandanginya yang
frustasi meminta Satria bangun.
“Oh ayolah, jangan bersikap
seperti drama queen begitu,” kataku
habis sabar melihat raungan Marisa.
Anak itu menoleh padaku. “Drama queen?” ulangnya dramatis, dengan
wajah basah. “AKU? SETIDAKNYA AKU MELUAPKAN PERASAANKU UNTUK ORANG YANG
MENYUKAIKU! SETIDAKNYA AKU ADA UNTUK ORANG YANG AKU SUKA! TIDAK SEPERTIMU, YANG
NAIF, PURA-PURA TIDAK PEDULI DENGAN KEADAAN ORANG YANG KAU SUKAI!”
“APA KAU BILANG?” bentakku marah.
“KAU SUKA SATRIA, KAN?” kata
Marisa, bangkit dari posisinya yang sedari tadi berlutut di sebelah ranjang
Satria. “SUKA, KAN! DAN KAU MENGHABISKAN WAKTU MENGABAIKAN PERHATIAN-PERHATIAN
SATRIA PADAMU, SEMENTARA ITU KAU MENDEKATI RAGA DAN MEMPERMAINKAN KEDUA COWOK
ITU...”
“AKU TIDAK MEMPERMAINKAN MEREKA,”
selaku tegas, dipenuhi kemarahan. “MEREKA-LAH YANG MEMPERMAINKANKU. SATRIA-MU,”
aku menekankan kata terakhir, “SATRIA-MU ITU YANG BERSIKAP BEGITU PADAKU, DAN
AKU TIDAK TAHU BAGAIMANA HARUS BERSIKAP!”
“KARENA ITULAH KUBILANG KAU NAIF!
BERULANG KALI SATRIA MELAKUKAN INI-ITU PADAMU DAN KAU MENGHABISKAN WAKTU TIDAK
MEMPERCAYAI KALAU SATRIA MENYUKAIMU!”
“DIA TIDAK MENYUKAIKU KARENA DIA
MENYUKAIMU!”
Mendadak aku melihat gerakan
kepala Satria. Melihat raut mukaku yang berubah, Marisa juga langsung menoleh
ke arah Satria dengan cepat. Tetapi itu bukan tanda-tanda Satria akan bangun.
Kepalanya bergolek ke kanan dengan lemah sekali...
“SATRIAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
*
* *
Kubuka mataku cepat, jantungku
berpacu lebih kencang dari biasanya. Rasanya seluruh badanku gemetaran. Aku
memutar badanku ke arah kanan, mengambil salah satu bonekaku yang berjejer
disana, dan memeluknya erat-erat.
Astaga.
Astaga.
Sudah lama aku tidak memimpikan
Satria, dan begitu aku memimpikannya, mimpi seperti ini yang kudapat?
ASTAGA.
Aku bernapas pelan-pelan untuk
menyeimbangkan lagi detak jantung dan badanku yang gemetaran.
“Meong.”
Aku kaget dan langsung melihat ke
sumber suara. Akane ada di pintu kamarku, mengeong. Aku mendesah lega.
Ingin sekali rasanya aku
menelepon Oki dan menanyakan apakah Satria baik-baik saja. Atau, kalau aku
punya keberanian lagi, akan kutelepon Satria dan kuceritakan mimpiku, dan
berharap Satria berkata ‘aku nggak apa-apa kok... itu kan cuma mimpi’... tapi
tentu saja aku tidak seagresif itu.
Tetapi aku benar-benar harus
meluapkan perasaan gelisah ini pada seseorang–atau sesuatu. Aku terlalu shock akibat mimpi barusan.
Raga-lah yang kemudian muncul
dalam pikiranku.
*
* *