10 Okt 2012


Keesokan paginya aku terbangun dengan kepala berat, membuatku terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi. Dan untuk membuatnya lebih buruk, aku menjatuhkan gelas melanin berisi jus jeruk yang baru saja aku keluarkan dari kulkas. Tanganku tremor, lebih parah daripada yang kuduga. Aku mengira ini adalah after-effects dari kejadian mengagetkan kemarin.
Bola basket berwarna oranye yang menjadi saksi penembakan itu terpampang di deret paling atas rak bukuku. Bola itu kutahan dengan model rahang dari gips yang sudah tidak terpakai (tidak bisa dipakai karena model itu gagal, tidak menunjukkan beberapa struktur anatomis yang harusnya ada di mulut temanku yang kucetak rahangnya) sehingga tidak akan bergulir kesana kemari.


Sampai hari ini aku masih bingung bagaimana cara untuk menanggapi Raga–aku takut karena hal-hal yang terjadi itu akan mengubah hubunganku dengannya. Penolakanku, maksudku.
Aku juga masih penasaran dengan Satria. Tentu saja aku ingat betul bahwa sore ini adalah pertandingan final futsal melawan mahasiswa FISIPOL yang terkenal kompak. Aku juga ingat kok bahwa kalau dugaan Fazzie benar, harusnya Satria meminta Fazzie untuk jadi pacarnya di final hari ini.
SIAL.
Kenapa ya setelah Fazzie bilang begitu aku justru semakin sering memandangi Satria? Mungkin untuk melihat ekspresinya ketika Fazzie lewat dengan manis di depannya. Mungkin untuk melihat tanda-tanda ‘Satria-suka-Fazzie’ ketika Fazzie tak sengaja beradu pandang dengan Satria. Mungkin untuk melihat apakah Fazzie sedang berusaha mendekati Satria lagi hari ini–dengan cara membawa seluruh personil gengnya untuk duduk tepat di depan Satria ketika kelas Ortodonsia.
Hebat. Aku yang biasanya acuh tak acuh sekarang sungguh dialihkan perhatiannya oleh seorang cewek cantik yang mengaku bahwa orang yang kusukai menyukainya. Terima kasih banyak.
Kubereskan tumpahan jus jeruk di lantai, kemudian meletakkan gelas melanin yang jatuh di bak cucian. Tepat saat itu bel rumahku berbunyi. Mbok Yati baru saja datang.
“Aku makan roti aja, Mbok...” kataku pada Mbok Yati, mencegahnya membuat sarapan. Aku sudah membuat sandwich selai kacang dengan roti yang tersisa–tanggal kedaluwarsanya hari ini, maka kuhabiskan saja semua. Selesai sarapan aku menghambur ke kamar mandi karena jamku sudah menunjukkan pukul enam. Hari itu aku kuliah pukul tujuh pagi. Seperti jaman sekolah saja.
Kusambar box berisi adaptor, minidrill, beberapa bur, dan tentu saja pekerjaan praktikum Prosto-ku–gigi tiruan sebagian lepasan, yang sudah dipatahkan menjadi dua. Bukan apa-apa, tak perlu menangis ketika kau tahu pekerjaan Prosto-mu patah, sebab memang itulah praktikumnya; menyambung resin akrilik yang patah. Praktikum hari ini mungkin aku akan melanjutkan penyambungan resin.
Sembari pamit pada Mbok Yati, aku meletakkan box Prosto di keranjang sepeda dan melaju menuju kampus sambil mendengarkan Infinite sealbum penuh. Mood-ku sudah bagus sesampainya di kampus. Kusapa satpam yang menjaga kampusku, juga petugas kebersihan yang sedang mengepel koridor. Kelas masih sepi, seperti biasa aku datang kepagian. Sudah jam setengah tujuh (atau baru jam setengah tujuh?) dan anak-anak masih belum datang. Biasanya jam tujuh kurang sepuluh barulah kelas ramai orang.
Satria biasanya datang di jam-jam telat, sekitar semenit atau paling lama lima menit setelah dosen masuk. Aku tidak tahu dia telat karena apa–karena kosannya jauh, atau jalanan macet, atau apalah–dan aku juga tidak tahu dia tinggal dimana. Kuharap dia tidak tinggal di daerah yang sama dengan kosan Fazzie, atau sebaliknya.
Aku meletakkan tasku di kursi dan setengah membanting tubuhku duduk di kursi itu. Kuletakkan box praktikum-ku di bawah kursi. Dengan kalem aku menguap lebar-lebar, lalu menelungkupkan kepala di dalam lenganku di atas meja. Headphone masih terpasang di kepalaku, lagunya mengiringiku tertidur sesaat.
Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Hanya saja ketika aku terbangun mendadak, kelas masih sepi. Baru ada sekitar lima-enam orang yang mengisi kursi-kursi di depanku. Kulihat arlojiku. Tujuh kurang lima. Dalam hati aku membatin kesal, kemana sih orang-orang? Karena pagi ini kelas Bedah Mulut dan dokternya jelas tidak menolerir keterlambatan bahkan lewat lima menit.
Sembari meregangkan tangan, aku menggerak-gerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Beberapa teman yang duduk di depan menyapaku.
“Naik sepeda, May? Pagi banget...” tegur Alva.
“Iya, takut macet,” kataku tersenyum.
“Udah nggak apa-apa emang kakinya?”
Aku mengangguk. “Udah dilepas dokter kok perbannya...”
“Baguslah...”
“May, udah sarapan belum? Ada jajanan nih...” Yuna menyodorkan kotak dagangannya. Ada donat, risoles, kroket, dan arem-arem. Terlihat menggiurkan sebenarnya.
“Buat apaan, Yun?” tanyaku, karena biasanya jajanan seperti ini akan muncul kalau ada acara-acara tertentu yang diadakan BEM atau fakultas. Biasanya juga para danus acara-lah yang akan menjajakan snack-snack itu di pagi hari di kala anak-anak tidak sempat sarapan sebelum kuliah pagi-pagi buta, seperti hari ini. Oh, dan hari-hari biasa; karena kami selalu kuliah pagi.
“Buat nambah-nambah uang kuliah,” Yuna nyengir. “Nggak, ini buat acara BEM...” Tuh, kan.
Aku manggut-manggut. “Aduh sayang sekali aku udah sarapan,” tolakku halus. “Berapaan sih?”
“Dua ribu,” Yuna manyun karena dagangannya tidak laku. “Ayo deh, satuuuu aja. Kroketnya enak lho.”
Aku nyengir pasrah. “Kenyang...”
Yuna tetap tersenyum. Kemudian dia beralih ke tempat duduk di deretan belakang. “Oke deh. Satria, belum sarapan kan? Nih...”
Hatiku mencelos mendengar nama itu dipanggil. Otomatis aku menolehkan kepalaku ke belakang. Ternyata Satria ada di kursi dua deret belakangku. Mungkin dia sudah datang waktu aku tertidur selama beberapa saat tadi. Aku tidak sadar.
Selama sedetik aku memandang Satria yang sedang memilih-milih jajanan yang didagangkan Yuna. Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku ke depan. Kudengar suara pintu yang ada di belakang kelas terbuka, dan satu demi satu anak-anak mulai mengisi kelas. Jam tujuh tepat.
“Eh, May,” mendadak Alva yang tadi duduk di depan berpindah ke kursi di sebelahku. “Gimana... sama adik angkatan yang kemarin?”
“Hoh?” tanyaku heran. “Raga?”
“Kemarin kamu ditembak kan sama dia?”
“Hoh.”
Aku sudah menduga kapan topik ini muncul ke permukaan. Hanya masalah waktu sebelum anak-anak perempuan sekelas menanyaiku soal Raga. Sudah kubilang kan, di FKG, tembok bisa mendengar.
Mendadak sudah ada tiga-empat orang yang mengelilingiku untuk mendengar ceritaku.
“Kamu tahu darimana?” tanyaku bingung, karena tidak ingat melihat Alva di GOR kemarin.
“Ah, beritanya kan udah rame di Twitter... kamu nggak buka Twitter?”
Aku mengernyit. “Buka sih... tapi nggak liat tuh... aku buka tadi pagi...”
Tari, yang duduk di sebelahku, manyun. “Yeeeh, ramenya kan tengah malem tadi...”
Rasanya aku bisa menebak kenapa sebagian besar anak-anak kelasku telat masuk pagi ini.
“Terus jadinya kamu pacaran dong sama dia?” tanya Alva mendesak.
“Ng?” aku mengangkat alis. “Nggak juga...”
“Lho? Kamu nggak nerima dia?” tanya Yuna yang juga sudah bergabung.
“Aku...”
Bunyi pintu terdengar dari belakang. Nyaris serempak, orang-orang yang ada di kelas menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang. Ternyata dosen Bedah Mulut kami. Aku merasa berterima kasih pada beliau, lega karena kerumunan orang yang tadi mengelilingiku bubaran, dan tidak mendesakku lagi untuk bercerita lebih lanjut.
“Jadi... bener ya yang ditulis si Raga-Raga itu saranghaeyo?” bisik seseorang.
Aku memandang Tari di sebelahku dengan tidak percaya. Rupanya dia benar-benar penasaran.
* * *
Toko alat-alat kesehatan gigi yang ada di kampusku pagi itu ramai, karena anak-anak kelasku berbondong-bondong kesana untuk membeli bur yang diperlukan untuk praktikum nanti. Aku sendiri berniat membeli crownmess–semacam pisau kecil multifungsi–karena milikku sudah hilang beberapa pekan lalu. Di laboratorium FKG, kau akan sering mengalami hal-hal seperti ini kalau kau tidak melabeli alat-alat praktikum dengan namamu sendiri. Aku sudah kehilangan crownmess dan spatulaku di semester ini.
Karena toko itu cukup kecil dan tidak cukup kalau aku ikut mendesak masuk ke dalamnya, akhirnya aku menunggu di luar sebentar, menunggu anak-anak keluar satu per satu. Tak lama kemudian rombongan Fazzie dan geng cantiknya datang, disusul kerumunan cowok yang tak terpisahkan sejak semester satu itu. Entah angin apa yang membuat mereka semua berkumpul di depan toko alat-alat itu.
Aku tidak mau kelihatan begitu keras berusaha menghindari memandang Satria terus-menerus.
Fazzie langsung menghampiriku dan memberondongku dengan pertanyaan yang nyaris sama dengan pertanyaan Alva tadi pagi. “Ah, iri deh sama kamu, ditembak terang-terangan gitu,” kata Fazzie centil (sebenarnya sih dia bicara dengan suaranya yang biasa, hanya saja entah kenapa hari ini aku menganggap suara itu terlalu berlebihan–memekik agak kencang sehingga menarik perhatian orang-orang di sekitar).
“Nggak juga,” ujarku datar, dan berharap dia tidak terus-terusan mengutarakan hal itu. Kalau aku boleh jujur, rasanya Fazzie melakukan itu untuk menarik perhatian Satria–dengan kata lain, dia ingin ditembak dengan cara yang lebih menyentuh daripada cara Raga menyatakan perasaannya padaku. Dan aku benci itu.
Oki mengajakku makan bersama teman-teman futsalnya yang biasa itu. Rupanya mereka hendak sarapan sebentar di kantin terdekat, kemudian baru pergi ke laboratorium Prosto. Praktikum ini memang cukup santai, karena tidak ada asisten mahasiswa seperti semester-semester lalu. Tetapi kau harus mencari dosen pembimbingmu sendiri untuk meminta nilai pekerjaanmu. Kadang dokter-dokter itu belum datang waktu kau sudah menyelesaikan satu pekerjaan, sehingga kau bingung harus melakukan apa.
Aku menolaknya dengan halus dan kubilang aku sedang diet, yang membuat Oki tertawa berderai-derai. Kesal, kutumbuk perutnya.
“Kak Maya?” sapa seseorang yang baru keluar dari tempat fotokopi di sebelah toko alat-alat KG itu.
“Raga?” aku berseru heran, namun entah kenapa cukup senang melihatnya. “Ngapain...?”
“Fotokopi tugas Biomat, Kak,” Raga mengeluarkan eye smile­ yang manis. “Praktikum ya Kak?” dia melirik box yang kubawa, serta mungkin melihat jas praktikum yang sudah kupakai.
Aku mengangguk. “Mmm. Prosto...” kataku. “Tapi mau beli crownmess dulu...” aku berhenti karena keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Mendadak tempat itu jadi sepi dan semua orang yang tadinya berkumpul di depan toko menyingkir agak jauh. Mereka (yang notabene teman-teman seangkatanku) berbisik-bisik sembari tersenyum-senyum sendiri.
“Aish,” kataku tak acuh. “Kamu nggak kuliah?”
“Jam sembilan,” Raga melirik arlojinya. “Keluar sebentar fotokopi ini...”
“Maya, duluan ya,” kata Alva dari belakangku, tapi terdengar seperti ‘silakan-bersenang-senang’ bagiku.
Aku mengangguk.
Oki menepuk bahuku pelan. “Beneran... nggak mau ikut makan? Oh...” dia pura-pura tersadar akan sesuatu (aku kenal sekali ekspresi itu), “Raga. Selamat ya menang. Juga gelar MVP-nya,” dia menjabat tangan Raga, yang membalas dengan ramah. “Silakan... teruskan...”
“Oi, Ki!” teriak Ary dari belakang kami. “Biarin... mereka...” Ary tidak melanjutkan kalimatnya, karena secara mendadak aku memfokuskan pandangan sinisku padanya.
Oki dan teman-temannya akhirnya pergi untuk sarapan.
Crownmess Kakak hilang?” tanya Raga seolah tidak ada interupsi apa-apa di percakapan kami tadi.
“Iya, biasalah.”
“Mau pinjem punyaku?”
“Kamu bawa?”
“Enggak,” Raga nyengir.
“Dasar...” aku tak habis pikir dengan anak ini. Dia lalu pamit untuk bergegas pergi menuju kelasnya, karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang dua menit di jam digitalnya.
Toko alat KG itu sekarang sepi, dan langsung saja aku membeli sebuah crownmess dengan uang yang tersisa di dompetku. Dengan perasaan senang yang tak bisa dijelaskan aku berjalan menuju laboratorium Prostodonsia, menandatangani presensi, dan duduk di tempatku biasa duduk, di kelompokku.
“Cie yang seneng habis ketemu,” aku mendengar suara Alva yang lewat di belakangku. Aku hanya nyengir.
“Enaknya ketemu pagi-pagi...” lagi-lagi suara Fazzie yang tidak kusukai muncul.
“Kebetulan...” kataku menjelaskan dengan tidak sabar.
“Ketemu siapa, May?” tanya teman sekelompokku yang sudah datang sedari tadi–Kelly.
“Raga...”
“Ciee...” sorakan norak keras terdengar di kelompokku. Kuabaikan celetukan-celetukan menggoda dari teman-temanku itu dan memfokuskan perhatianku pada plat resin akrilik yang sedang kupreparasi untuk kemudian disambung lagi.
* * *
Praktikum Prostodonsia hari Jumat selesai jam sebelas kurang sepuluh. Selepas itu kami sudah tidak ada kuliah lagi sampai besok Senin. Jadi aku membereskan alat-alat praktikumku, senang karena plat resin akrilik-ku sudah disambung dengan resin yang bisa mengeras sendiri alias self-cured resin, tinggal membuatnya menjadi halus dan platku akan kembali seperti semula, dan pekerjaanku selesai.
Raga mengirimiku pesan singkat tepat ketika aku hendak pulang dengan sepedaku, isinya menanyakan apakah dia boleh menjemputku untuk menonton pertandingan futsal nanti sore. Hannah mengirimiku pesan yang isinya hampir sama, hanya saja di kalimat-kalimat terakhir pesan Hannah berisi curhatannya tentang kecemasannya terhadap Oki. Aku menjawab Raga dengan tidak, dan aku menyetujui ajakan Hannah. Sedikit merasa bersalah pada Raga, sih, tetapi kupikir ini baik untuk tetap menjaga agar hubungan kami tidak berubah–tidak lebih mendekat tetapi juga tidak malah menjauh.
Kukayuh sepedaku menuju ke rumah, mengernyit sedikit karena matahari yang cukup terik siang itu. Panas siang itu menambah kekesalanku sejak kejadian yang terjadi di praktikum Prosto tadi.
Sederhana saja sebenarnya, Fazzie mulai bergenit-genit lagi pada Satria. Tapi, aku tidak suka. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku kalau nanti Satria benar-benar jadian dengan Fazzie. Terlalu takut untuk memikirkannya. Hanya bisa berharap bahwa semua itu cuma mimpiku.
Pukul setengah satu siang setelah makan siang dan melepas kepergian Mbok Yati, aku diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Kuputuskan untuk tidur sejenak sebelum Hannah menjemputku pukul setengah empat sore nanti.
* * *
Aku mendapati diriku berada di kelas seperti biasa, sedang mendengarkan penjelasan dokter yang kukenal yang mengajar Radiologi Dental. Yang tidak biasa adalah posisi dudukku, entah kenapa hari itu aku memutuskan untuk duduk di deretan belakang yang biasanya (pasti) ditempati anak laki-laki. Memang sudah sejak bertahun-tahun yang lalu, anak laki-laki pasti duduk di belakang; dan anak-anak perempuan mengisi deretan depan.
Mungkin hari itu aku telat masuk, aku tidak ingat.
Aku melihat punggung yang amat kukenal karena sering sekali memerhatikannya sejak dulu–Satria, duduk dua deret di depanku. Punggung itu sedang menelungkup di mejanya, entah dia tidur atau malas mendengarkan dosen. Tetapi kemudian seseorang yang duduk di sebelahnya–teman perempuan yang sering satu kelompok dengannya, yang paling sering aku cemburui, jadi aku tidak ingin mengingat namanya–menepuk-nepuk kepala Satria dan lalu memijit-mijit punggungnya. Satria sakitkah?
Tak kupedulikan adegan romantis itu dan kembali menyalin sesuatu dari slide dosenku. Entahlah, aku tak tahu apa aku benar-benar tidak peduli atau kelihatan tidak peduli, aku tidak bisa memastikan. Tapi, hari itu aku tidak peduli bahwa Satria sakit.
Kelas selesai, dan aku membereskan barang-barangku. Ketika aku sedang memasukkan binder ke dalam tas, aku mendengar suara Satria yang batuk-batuk. Dia kelihatan lemas sekali. Aku hanya melihatnya sekilas, lalu buru-buru keluar dari kelas itu sebelum aku memutuskan untuk sedikit khawatir padanya.
Ternyata ruangan untuk kelas berikutnya yang berada di sebelah ruangan tempat kuliah Raden-ku tadi belum dibuka–masih ada mahasiswa-mahasiswa yang belajar di ruangan itu. Akhirnya aku menunggu di luar ruangan, duduk di kursi, yang segera diikuti oleh beberapa teman sekelasku. Satria dan teman-temannya keluar dari kelas barusan, tampak pucat.
Aku bisa mendengar teman-teman Satria menyuruh cowok itu untuk pergi ke rumah sakit atau apa. Tetapi orang yang diberi saran malah menggeleng dan bilang malas ke rumah sakit. Kemudian entah darimana muncullah Marisa. Dia melenggang santai diantara anak-anak seangkatanku, seolah dia anak angkatanku juga. Wajahnya cemas, dan dia meminta; bukan, memohon, Satria untuk pergi ke dokter bersamanya.
Dahiku berkerut, merasa deja vu mendengar kalimat yang diucapkan Marisa dengan muka nyaris-menangis-nya. Membenci keseluruhan adegan itu, aku menghabiskan waktu seharian bermuka muram dan marah-marah sendiri. Biasanya kalau sudah seperti ini, teman-temanku akan berusaha menghindari bertemu denganku, atau sebisa mungkin tidak bicara denganku. Tetapi entah kenapa hari itu berakhir dengan aku menangis di kamarku dengan Akane yang kupeluk-peluk dan mengeong dengan sabar.
Besoknya, Satria tidak masuk kuliah. Aku mendengar dari pembicaraan dua cewek di belakangku bahwa cowok itu masuk rumah sakit. Mengabaikan informasi ini, dengan bersiul riang aku berjalan menuju kantin untuk membeli roti keju.
Di kantin ternyata anak-anak angkatanku ramai membicarakan Satria yang masuk rumah sakit. Menurut yang kudengar (dengan tidak terlalu antusias), Satria diceritakan tiba-tiba pingsan begitu sampai di kosannya setelah pulang kuliah kemarin siang. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit dan katanya sih harus diopname selama beberapa hari. Rencananya beberapa teman dekatnya akan menjenguknya hari ini.
Oki muncul, mengajakku menjenguk Satria. Aku menolaknya, dengan alasan ingin menonton drama Korea terbaru yang dibintangi Jang Geun Suk dan Yoona–Love Rain. Aku bisa melihat keheranan besar di raut muka Oki.
“Kenapa heran?” tanyaku menantang. “Pergilah sana, dia temanmu kan.”
Sedikit bingung, Oki meninggalkanku yang tersenyum melepasnya pergi.
Ketika akhirnya aku memutuskan untuk menengoknya (karena katanya cuma aku saja yang belum menjenguknya, sementara anak-anak sekelasku sudah) ditemani Oki, aku menemukan fakta bahwa Satria dalam keadaan koma. Mulutku membulat tanpa suara, tetapi bahkan tidak ada rasa gelisah atau khawatir di hatiku.
Justru Marisa yang menangis-nangis di ruangan tempat Satria dirawat. Aku memandanginya yang frustasi meminta Satria bangun.
“Oh ayolah, jangan bersikap seperti drama queen begitu,” kataku habis sabar melihat raungan Marisa.
Anak itu menoleh padaku. “Drama queen?” ulangnya dramatis, dengan wajah basah. “AKU? SETIDAKNYA AKU MELUAPKAN PERASAANKU UNTUK ORANG YANG MENYUKAIKU! SETIDAKNYA AKU ADA UNTUK ORANG YANG AKU SUKA! TIDAK SEPERTIMU, YANG NAIF, PURA-PURA TIDAK PEDULI DENGAN KEADAAN ORANG YANG KAU SUKAI!”
“APA KAU BILANG?” bentakku marah.
“KAU SUKA SATRIA, KAN?” kata Marisa, bangkit dari posisinya yang sedari tadi berlutut di sebelah ranjang Satria. “SUKA, KAN! DAN KAU MENGHABISKAN WAKTU MENGABAIKAN PERHATIAN-PERHATIAN SATRIA PADAMU, SEMENTARA ITU KAU MENDEKATI RAGA DAN MEMPERMAINKAN KEDUA COWOK ITU...”
“AKU TIDAK MEMPERMAINKAN MEREKA,” selaku tegas, dipenuhi kemarahan. “MEREKA-LAH YANG MEMPERMAINKANKU. SATRIA-MU,” aku menekankan kata terakhir, “SATRIA-MU ITU YANG BERSIKAP BEGITU PADAKU, DAN AKU TIDAK TAHU BAGAIMANA HARUS BERSIKAP!”
“KARENA ITULAH KUBILANG KAU NAIF! BERULANG KALI SATRIA MELAKUKAN INI-ITU PADAMU DAN KAU MENGHABISKAN WAKTU TIDAK MEMPERCAYAI KALAU SATRIA MENYUKAIMU!”
“DIA TIDAK MENYUKAIKU KARENA DIA MENYUKAIMU!”
Mendadak aku melihat gerakan kepala Satria. Melihat raut mukaku yang berubah, Marisa juga langsung menoleh ke arah Satria dengan cepat. Tetapi itu bukan tanda-tanda Satria akan bangun. Kepalanya bergolek ke kanan dengan lemah sekali...
“SATRIAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
* * *
Kubuka mataku cepat, jantungku berpacu lebih kencang dari biasanya. Rasanya seluruh badanku gemetaran. Aku memutar badanku ke arah kanan, mengambil salah satu bonekaku yang berjejer disana, dan memeluknya erat-erat.
Astaga. Astaga.
Sudah lama aku tidak memimpikan Satria, dan begitu aku memimpikannya, mimpi seperti ini yang kudapat?
ASTAGA.
Aku bernapas pelan-pelan untuk menyeimbangkan lagi detak jantung dan badanku yang gemetaran.
“Meong.”
Aku kaget dan langsung melihat ke sumber suara. Akane ada di pintu kamarku, mengeong. Aku mendesah lega.
Ingin sekali rasanya aku menelepon Oki dan menanyakan apakah Satria baik-baik saja. Atau, kalau aku punya keberanian lagi, akan kutelepon Satria dan kuceritakan mimpiku, dan berharap Satria berkata ‘aku nggak apa-apa kok... itu kan cuma mimpi’... tapi tentu saja aku tidak seagresif itu.
Tetapi aku benar-benar harus meluapkan perasaan gelisah ini pada seseorang–atau sesuatu. Aku terlalu shock akibat mimpi barusan.
Raga-lah yang kemudian muncul dalam pikiranku.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates