Shock
Aku tidak pernah bermaksud menggetarkan
suaraku atau apa, tetapi di telepon Raga menyuruhku untuk tenang sejenak, dan membiarkan
suaraku kembali seperti semula. Aku mengikuti usulnya, lalu menghela napas
panjang.
“Minum air dulu,” saran Raga di
telepon.
Sebagai kakak yang penurut aku
mematuhinya. Kuraih gelas yang ada di meja makan dan mengisinya dengan air,
lalu meneguknya dengan pelan.
“Air selalu punya efek
menenangkan,” ujar Raga.
“Trims,” kataku. “Aku takut...”
“Tenang, Kak, itu cuma mimpi.
Jangan dipikirin...”
“Tapi tetep aja... mimpi buruk,”
aku bergidik.
“Sesekali, Kak...” sahut Raga. “Bukan
berarti sesuatu yang buruk akan terjadi pada Kak Satria atau apa...”
“I hope so...” ujarku, dan di dalam hati menambahkan, mungkin hal buruk tidak terjadi pada Satria,
tetapi padaku. Satria jadian dengan Fazzie, misalnya.
“Sekali lagi Kak, itu cuma mimpi.
Hanya mimpi. Kakak nggak boleh
terlalu percaya, harusnya.”
Aku manggut-manggut. “Iya. Aku
cuma... udah lama nggak mimpiin dia, dan sekalinya mimpi...” aku berhenti,
meneguk ludah.
“Sejak ada aku ya?” kudengar Raga
tertawa.
“Iya mungkin,” aku mendengus
tersenyum.
“Udah tenang Kak?”
“Lumayan... trims ya? Maaf,
lho...” entah kenapa aku merasa harus minta maaf.
“Lho, maaf untuk apa,” gumam Raga.
“Aku senang bisa jadi orang yang Kakak hubungi waktu lagi sedih.”
“Mmm...” kataku, kehilangan
kata-kata.
“Nggak ke tempat futsal, Kak?”
“Aku nungguin Hannah... janjian jam
setengah empat, sih.”
“I’ll be there too,” ujar Raga, memberi informasi yang sudah
kuketahui.
“I know,” kataku bingung.
“Well, that supposed to be... ‘meet
me there’, Noona,” cengir Raga.
Aku tersenyum lagi. “Okay then, see you there...”
Dan kami memutuskan sambungan
telepon itu.
Berharap tidak terjadi apa-apa
pada Satria, aku bersiap-siap dengan gelisah ketika menunggu Hannah datang ke
rumahku.
“Meong,” Akane terdengar sedih.
“Ya?” kataku padanya. “Mau ikut?”
Dia mengeong lagi. Kuputuskan
untuk membawanya ke tempat pertandingan, siapa tahu dia bisa ikut excited melihat pertandingan futsal
nanti. Sudah terlalu lama Akane kesepian di rumah.
Hannah berseru-seru melihat Akane
di pelukanku.
“Kucing!” katanya histeris,
menunjuk Akane. “KUCING!”
“Iya, Hannah,” kataku heran. “Kamu
takut kucing?”
Hannah menggeleng. “Aku sukaaaaaa
sekaliiiiiii!”
Dan dia merampas Akane dari pelukanku sementara aku memasukkan kandang
Akane ke mobil Hannah.
“Cute! Super cute!” seru Hannah tiada henti di perjalanan.
Duduk di kedua lututku, Akane
mengeong dengan bangga. Dia lalu melongok ke depan untuk melihat pemandangan
dari dalam mobil.
Sesampainya kami di tempat
futsal, aku menemukan motor Satria yang bisa kukenali bahkan dari jauh. Ada beberapa
motor dengan stiker FKG yang ditempel di badannya, dan helm-helm dengan stiker
yang sama. Mungkin anak-anak futsal sudah ada di dalam lapangan futsal indoor itu.
Benar saja, tempat duduk penonton
yang cukup dekat dengan lapangan futsal itu sudah ditempati teman-teman
seangkatanku, beberapa kakak angkatan, dan beberapa adik angkatan. Raga belum
kelihatan. Ada Marisa dan teman-temannya disana, bercengkrama. Sesaat aku ingat
mimpiku dan ingin sekali melabrak Marisa, tetapi sesuatu menahanku.
“Maya!” seru Kelly yang ada
disana. Aku berjalan ke arahnya, dan duduk tepat disebelahnya.
“Eh, kok bawa kucing, May?”
“Kucing siapa, May?”
Nemu
di jalan,
gumamku dalam hati.
“Punyaku, namanya Akane,”
kuperkenalkan Akane pada cewek-cewek yang mengisi deretan terdepan bangku
penonton, dan dalam sekejap Akane jadi idola. Beberapa yang takut kucing
berteriak ketika Kelly menyodorkan Akane pada mereka. Seorang diantaranya
adalah Fazzie.
“KYAAAAA!” lengkingan Fazzie
bergaung, dan hampir semua orang menoleh ke arah kami. Satria, Oki, Brian, Ary,
Wira dan yang lain yang ada di sisi lapangan juga menoleh.
Aku mencibir tanpa suara. Astaga, berlebihan sekali.
“Sana! Sana!” kata Fazzie ngeri.
Aku mengambil Akane dari tangan
Kelly yang tertawa-tawa dan memeluknya erat. Hannah meminta izin untuk bermain
dengan Akane sebentar dan aku mengizinkannya.
Tiba-tiba saja tanpa kami
ketahui, pertandingan sudah akan dimulai. Anak-anak tim futsal membentuk
lingkaran, melakukan yel-yel mereka yang biasa, lalu diiringi tepuk tangan dan
teriakan dari penontonnya, lima orang dari mereka memasuki lapangan.
“Noona,” panggil seseorang dari belakangku. Aku menoleh dengan sudah
mengetahui siapa yang memanggilku.
“Ah, noona membawa Akane?” tunjuk Raga pada Akane yang sedang mengangkat-turunkan
Akane.
Aku nyengir. “Iya.”
“Cute,” Raga tersenyum.
Mendadak aku deja vu, sekali lagi. Siapa ya yang dulu pernah mengomentari Akane,
seperti ini juga?
Pertandingan final itu resmi
dimulai dengan tendangan dari FISIPOL yang menang suit tadi. Dengan segera tim
lawan melakukan serangan ke gawang FKG. Bisa kudengar pelatih tim futsal FKG
menyerukan tindakan yang harus dilakukan–atau meneriakkan nama Oki atau Satria
untuk memblok lawan yang sedang melaju.
“BUANG! BUANG!” adalah salah satu
kata yang kudengar, dan tepat pada saat itu Wira yang ada di depan gawang menendang
bola keluar lapangan.
“NICE!”
Pendukung FKG bertepuk tangan. Kami
ribut-ribut lagi ketika bola sudah sampai di dekat gawang FISIPOL dan terjadi
pertarungan sengit disana, berharap ada seseorang yang menendang bola itu ke
gawang lawan, dan...
“GOOOOOOOOOOOL!!” keras terdengar
dari pendukung FKG ketika entah-siapa (aku tidak melihatnya) memasukkan bola ke
gawang FISIPOL. Detik berikutnya aku tahu–Satria-lah pencetak gol pertama. Nama
Satria digaung-gaungkan.
Dari garis tengah bola digulirkan
lagi. Kali ini tanpa ragu-ragu Satria menendang langsung ke gawang–tapi
sayangnya ada yang menendang bola itu ke belakang, ke arah gawang FKG. Daerah
gawang itu kosong! Hanya ada dua orang yang ada di daerah sana.
Kiper FKG, Brian,
berteriak-teriak meminta temannya kembali ke belakang. Ary melakukan defense tetapi lawan berhasil
melewatinya. Yang lain terlalu terlambat untuk berlari ke belakang... sekarang
mahasiswa FISIPOL itu bertanding satu-satu dengan kiper. Dia melakukan
tendangan yang indah menurutku, dan sayang sekali Brian gagal
mengantisipasinya, bolanya masuk melewati daerah kosong yang tidak disangka-sangka
Brian. Giliran pendukung FISIPOL yang berseru-seru.
“BRIAAAANNN!” teriak kami dari
bangku penonton.
Jantungku berdebar kencang setiap
kali terjadi pertempuran di depan gawang–sedikit saja salah langkah, bisa-bisa
gawang kebobolan.
Di menit-menit berikutnya tidak
ada gol-gol yang diharapkan. Kedua belah pihak sama-sama punya pertahanan yang
bagus, menurutku, yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang olahraga ini. Sedikit
saja bola itu hampir mendekati gawang, seseorang akan segera membuangnya, atau
menendangnya kembali ke depan. Skor masih 1-1 di babak pertama yang
menegangkan.
Begitu memasuki babak kedua, setelah
ada pergantian pemain dari FISIPOL, tampaknya serangan mereka semakin
bertubi-tubi. Mereka juga menjaga pemain-pemain FKG yang dirasa berbahaya.
Satria diapit terus-terusan oleh seorang mahasiswa FISIPOL.
Ingin rasanya aku berada di
posisi mahasiswa itu.
“SATRIAAAAA!” teriak Fazzie,
membuatku mengerling padanya, tapi tak kentara.
Sebuah corner kick di gawang FKG berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh
tim futsal FISIPOL untuk memasukkan satu gol lagi ke gawang FKG. Keluhan keras
terdengar dari suporter FKG, sementara suporter FISIPOL berteriak-teriak senang
dan melayangkan tinju mereka ke udara.
Tuhan...
setidaknya bisa menyamakan kedudukan... setidaknya penalti... aku berdoa dalam hati, sembari
memeluk Akane erat-erat.
Tetapi entah kenapa pertahanan
kami kendur di babak kedua. Brian telat maju untuk menangkap bola yang bergulir–bola
itu langsung ditendang oleh lawan ke gawang yang kosong. Skor 3-1.
Akane yang kupeluk
mengeong-ngeong gelisah.
Aku mulai pupus harapan. Inikah
pertanda buruk yang dimunculkan di mimpiku tadi sore?
Tidak,
bodoh, ini sama sekali tidak berhubungan.
Tak berani memerhatikan
pertandingan sama sekali, aku memusatkan pandanganku pada satu sosok saja.
Kuperhatikan bagaimana dia berlari, menyampaikan tanda-tanda pada teman-teman
setimnya, meneriakkan pada teman-temannya mereka harus apa, dan waktu bola yang
tadinya ia giring direbut, kuperhatikan perubahan ekspresinya, dan terakhir
ketika seseorang dari FISIPOL menggulirkan bola masuk gawang FKG.
Skornya 4-1, dan ini sudah babak
kedua... tinggal tunggu waktu...
Aku merasa kasihan pada Satria. Tampaknya
dia sendiri sudah kehilangan harapan.
Dan begitu peluit panjang
berbunyi, serentak dengan teriakan suporter FISIPOL yang turun dari bangku
mereka. Tak mau kalah, kami juga berteriak dan bertepuk tangan bangga akan tim
futsal kami.
Kedua tim bersalaman di tengah
lapangan diiringi tepuk tangan dari orang-orang yang menonton.
“Ah,” kata Raga kecewa.
“Sayang...”
“Iya,” sahutku. “Tapi sampai
final udah bagus...”
Raga mengangguk-angguk. “Yuk,
pulang, pulang, responsi, responsi!” serunya pada teman-temannya yang langsung
disambut dengan tertawa yang penuh arti.
Hannah mengambil alih menggendong
Akane sementara aku berjalan berdampingan dengan Raga keluar tempat olahraga
itu.
Kalau mau mengikuti skenario yang
kubuat tentang prosesi penembakan Fazzie yang diduga akan terjadi hari ini–harusnya
sih kejadiannya terjadi sekarang. Mestinya, kalau menurut skenarioku, Satria
akan memenangkan pertandingan ini, lalu dengan bangga dia menerima piala, dan
ketika mereka sudah sampai di luar, Satria akan menembak Fazzie sembari
berkata, ‘kemenangan ini buat kamu’.
Ck.
Sejak keluar dari tempat futsal,
entah kenapa hatiku tidak tenang. Perasaan seperti ini biasanya muncul diikuti
dengan kejadian buruk atau kejadian yang tidak sesuai dengan ekspektasiku. Aku
memang terlalu sensitif, sampai kadang aku direpotkan oleh perasaan ini.
Sebenarnya sejak tadi hatiku
sudah gelisah sekali soal pertandingan ini. Maka aku tidak heran ketika final
dimenangkan oleh FISIPOL.
Tokoh perempuan di dalam
skenarioku tidak tampak dimana-mana, tetapi geng cantiknya berkumpul di dekat
mobil salah satu dari mereka–mobil Ara, kalau aku tidak salah ingat. Sementara
si tokoh pria menurut dugaanku masih ada di dalam gedung.
“Pulang... yuk?” ajakku pada
Hannah, tak sanggup kalau mendadak melihat Satria dan Fazzie datang dengan
bergandengan tangan.
“Sebentar ya, Kak...” kata Hannah
yang tampaknya sedang berbicara dengan teman sekelompoknya tentang tugas-entah-apa.
Maka aku menunggu, di sebelah
Hannah, dengan Akane di gendongan Raga.
“Satria!”
Aku menoleh mendengar panggilan salah
satu teman sekelasku itu. Satria baru keluar, membawa ranselnya, tanpa-Fazzie. Cowok
itu berlari melewatiku, dan mengangguk sedikit pada Raga, hanya pada Raga. Dia
tidak melihatku.
Yah, aku juga tidak berharap
apa-apa, sih.
Tapi
kan, tetap saja, dulu...
Satria sudah berkumpul dengan
teman-temannya. Kuacuhkan mereka, dan mengulum pipiku. Raga tidak mengajakku
bicara, dia hanya menemaniku.
Beberapa saat kemudian aku melihat
sesosok gadis cantik dengan pipi memerah dan senyuman malu-malu tersungging di
bibir–Fazzie, muncul dari dalam gedung dan langsung dihampiri teman-temannya. Mereka
kelihatan histeris begitu Fazzie bicara, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka
bicarakan. Yang aku tahu adalah mereka mengerling berkali-kali ke arah
gerombolan cowok di tempat parkir, di belakangku.
Tetapi tidak perlu mata-mata
untuk tahu apa yang baru saja Fazzie katakan, karena teman-teman Satria di
belakangku mendadak bersorak-sorai norak.
“Jadi, Sat?”
DEG. Jantungku rasanya berhenti
berdetak. Jadi...?
Fazzie dan teman-temannya berjalan
mendekatiku–bukan, ke belakangku, ke tempat Satria dan yang lain. Penasaran,
aku mengalihkan pandanganku kesana.
“Kenapa sih mereka ramai sekali?”
tanyaku kesal.
Mendadak Raga menarikku ke
arahnya, lengannya menutupi mataku, tangannya menutupi telingaku sehingga suara
dari luar terdengar samar-samar.
“Raga...?” kataku bingung.
“Kenapa...”
“Nggak,” ujar Raga.
Hanya ada satu kemungkinan yang
bisa membuat Raga tiba-tiba memutuskan untuk mencegahku melihat (atau memahami)
peristiwa yang terjadi.
“Raga,” kataku. “Mereka jadian,
ya?”
“Hm?”
“Bilang aja iya atau enggak,”
ujarku menantang.
Raga tidak menjawab segera.
“Aku nggak apa-apa,” ujarku,
lebih kepada diriku sendiri. “Nggak apa-apa...”
“You are not,” sahut Raga.
“Mereka jadian, ya?” bisikku.
“...iya,” jawab Raga, dan aku
membasahi lengan Raga dengan airmataku.
*
* *
Aku nyaris berteriak melihat pantulan
diriku sendiri di cermin keesokan harinya. Ada bengkak dan lingkaran hitam tak
diharapkan muncul di kedua mataku. Hidungku memerah seperti badut. Suaraku
serak. Kucoba mengucapkan namaku sendiri. Nyaris tak terdengar.
Mbok Yati datang tergopoh-gopoh
begitu melihatku di pagar. “Kenapa, Mbak? Sakit lagi?”
Aku menggumamkan ‘nggak, Mbok’
dengan menyedihkan.
“Saya buatin teh anget, ya.”
Aku tidak menolak, tidak bisa
menolak.
“Habis nangis ya, Mbak?” tebak Mbok
Yati ketika aku sedang mengamatinya mencelupkan teh ke teko. Aku hanya tertawa
tanpa suara.
“Ini Mbak, buat kompres
matanya...” Mbok Yati menyodorkan dua teh celup bekas yang barusan digunakan
untuk membuat teh hangat. Aku berbaring di sofa, dan dengan patuh menempelkan
teh celup itu ke kedua mataku. Rasanya panas. Meskipun begitu, mataku tidak
berair. Pada saat yang bersamaan aku merasa kantung air mataku tidak akan
mengeluarkan air lagi, selama mungkin seminggu ke depan.
Handphone-ku berdering. Sambil berusaha
tetap menempelkan teh celup, aku menahan keduanya di mataku selagi berjalan
menuju kamar untuk mengambil handphone.
Ternyata Oki meneleponku.
“Gwaenchana?” tanyanya begitu aku mengangkat teleponnya.
“Menurutmu?” bisikku serak.
“Kenapa suaramu?” gumam Oki.
“Nangis?”
“Gitu deh.”
“Untung hari Sabtu.”
“Hmm.”
“Istirahatlah...”
“Hmm.”
“Annyeong,” kata Oki, lalu memutuskan sambungan telepon.
Aku menyalakan televisi dan tidak
bisa tertawa menonton episode terbaru SpongeBob. Akane melompat ke atas sofa
dan menggangguku, berputar-putar di atas bantal.
“Ngapain sih kamu,” aku tertawa
sembari mencubitnya pelan.
“Meong!” katanya kaget.
Handphone-ku berdering lagi. Kali ini
Raga. Dia bahkan tidak mengucapkan ‘halo’ pada detik pertama.
“Noona?”
“Ng?”
“Kok suaranya serak? Habis
nangis? Noona nggak apa-apa?”
“Aku oke,” kataku, sebisa mungkin
mempersingkat kata-kata yang kugunakan.
“Noona... I’m sorry.”
“For?”
“For them.”
Aku tidak mengerti.
“Ya... intinya aku menyesal...
kenapa mereka...”
“Sudahlah,” selaku serak.
Raga terdiam. “Well... okay. Aku mau ke kampus hari ini
Kak, latihan basket,” kata Raga kemudian.
“Jangan lupa makan,” tambahku,
sebelum dia menutup teleponnya.
Sarapanku pagi itu sup krim jagung. Tidak
berniat kemana-mana hari ini, aku makan dengan amat pelan dan tidak
terburu-buru. Aku juga tidak ingin membuka situs Twitter (dan melihat timeline
yang penuh dengan ucapan selamat atas bersatunya dua insan itu) atau Facebook (dan
menemukan tulisan Satria Maheswara
Pambudi is in a relationship with Fazyra Sastranty). Tidak. Tidak akan.
Air mataku, yang kukira tidak
akan bisa keluar lagi, mendadak mengalir ketika aku sedang mengunyah roti
kering. Terisak, aku menyuap sup krimku.
“Mbak...” kata Mbok Yati
melihatku. “Saya nggak tahu, Mbak kenapa, tapi kalau mau nangis, nangis aja...
jangan ditahan...”
“Saya udah nangis semalaman, Mbok...”
kataku membela diri. “Saya capek nangis semalaman...”
“Aduh, Mbak... saya telponin
Mama, ya?”
Aku buru-buru menggeleng. “Nggak
usah Mbok,” ujarku. “Ini nggak ada hubungannya sama Mama...”
“Telpon temen-temen Mbak, minta
temenin...” saran Mbok Yati.
“Saya...” aku hendak meneruskan
dengan ‘saya nggak punya temen’ tapi kedengarannya immature sekali, maka aku memilih kata yang tepat, “...mereka pasti
masih tidur...”
“Aduh, Mbak...” Mbok Yati
kelihatan kebingungan sekali, dan aku merasa bersalah.
“Mbok... makan aja dulu, saya
nggak apa-apa...” kataku tersenyum. “Beneran.”
Mbok Yati tampak tak percaya,
tetapi aku mengeluarkan jurus jitu pandangan aku-baik-baik-saja-ku yang
biasanya berhasil untuk semua orang kecuali Mama.
Aku bukanlah tipe anak yang bercerita
semalam suntuk kepada Mama tentang kehidupan percintaanku yang berantakan (ehm,
seperti sekarang). Mama memang secara rutin bertanya ‘Siapa pacarmu sekarang?’
ketika meneleponku, dan aku selalu bilang ‘belum ada’, dan Mama tidak bertanya
lagi. Mama juga tidak tahu tentang Satria. Tetapi aku memberitahunya bahwa ada
adik angkatan yang menyatakan perasaannya padaku. Mama cuma bilang terserah
(“Ya kalau kamu suka, apa salahnya?”), setelah aku menceritakan asal-usul Raga
yang merupakan tipe anak baik.
Sekarang ketika rupanya Satria
dan cewek itu jadian, aku tidak ingin membawa-bawa perasaanku yang kacau balau
ketika sedang ditelepon Mama atau Papa.
Menurutku kegalauanku tidaklah
perlu diangkat menjadi masalah keluarga, lagipula aku tak ingin menambah Mama
kerepotan dengan ikut memikirkan masalah pribadiku. Kak Nathan itu
pengecualian, karena dia sendiri yang mendesakku untuk cerita.
Karena itulah satu-satunya yang
menjadi pelampiasanku secara penuh cuma diariku. Diariku sekarang nyaris penuh
setelah kuisi secara rutin selama dua semester terakhir. Nama Satria masih
bertengger di halaman-halaman terakhir, tetapi biasanya diikuti dengan
misuh-misuhku tentang pacarnya sekarang.
Pacarnya yang itu. Yang cantik jelita
itu.
Kulempar buku diari yang sedang
kubaca-baca itu ke kasur. Napasku terengah, jengkel. Air mataku mengalir.
Selalu, kalau aku sedang marah. Aku tidak bisa marah-marah, dan sebagai
gantinya, aku menangis dengan napas tersengal-sengal.
Suara Akane terdengar dekat, dan
kusadari bahwa dia sedang duduk di bawah kursiku, memandangiku. Kuangkat dia
dan mendudukkannya di pangkuanku.
“Akane,” kataku.
Akane mengeong. Kugaruk-garuk
dagunya, dan dia mendengkur.
Aku tersenyum. “Cuma kamu yang
setia...”
Akane menemaniku di dapur, menyiapkan
makan siangku. Aku berniat membuat sayur bayam dan tahu goreng tepung. Kusiapkan
bahan-bahannya, dan ketika memotong-motong tahu, mendadak mataku menghangat
lagi. Merasa benci pada diri sendiri, tetapi aku tak bisa menahan air mata yang
terus keluar. Kupotong-potong tahu dengan kasar, menimbulkan suara ‘drak’ keras
ketika pisauku beradu dengan talenan.
Aku berniat menghabiskan seharian
itu untuk tidur dengan tenang, dan berharap tidak akan mimpi buruk lagi. Nyatanya,
setelah makan siang (yang dipenuhi dengan tetesan air mata tak diharapkan) aku
menelepon Kak Nathan (yang sedang libur) dan menangis-nangis padanya. Kak
Nathan tidak bicara apa-apa, hanya mendengarkanku berkeluh-kesah dan menangis.
“Kukira aku bakal bisa terima,
Kak...” kataku pelan. “Tapi ternyata...” tangisku meledak lagi. “Kenapa aku
sekesal ini ya? Kenapa...”
“Cewek itu... seenaknya bilang Satria suka
sama dia... aku nggak percaya... tapi kenapa malah mereka berdua jadian...”
“AKU BENCI, KAK, BENCI...”
“Terus maksudnya Satria
ngapa-ngapain aku kemarin-kemarin itu apa? APA? NGASIH SAPUTANGAN WAKTU AKU
MIMISAN ITU APA MAKSUDNYA? DATENG KE RUMAH NEMENIN PAS AKU SAKIT ITU APA
MAKSUDNYA? MAKAN SIANG BARENG? NGASIH AKU PLESTER WAKTU AKU JATUH ITU? APA? SMS-SMS
WAKTU ITU APA?”
“MAKSUDNYA AKU CUMA SELINGAN,
GITU?”
“IYALAH, FAZZIE CANTIK, AKU
APALAH...”
“Heh, jangan gitu...” Kak Nathan
angkat bicara. “Kamu cantik.”
“Cuma Kakak yang bilang gitu,”
aku mengusap mataku. “Kak...” aku mulai menangis lagi.
“Cup, cup,” kata Kak Nathan. “Sabar,
ya... aku tahu ini berat... tapi... kamu pasti bisa... kamu udah mengalami yang
lebih berat... dan kamu bisa bertahan...”
“Ini bukan masalah bertahan atau
apa, Kak, ini masalah perasaanku terhadap Satria yang diombang-ambing kayak
kapal sama dia!”
“Ya jangan mau diombang-ambing
dong. Setir sendiri makanya.”
“SI SATRIA BODOH ITU,” aku tak
bisa menahan lagi, “NGGAK SADAR APA ADA YANG SUKA SAMA DIA...”
“Hush,” Kak Nathan tertawa.
“Mungkin dia emang nggak peka...”
“Masa sih dia nggak tahu kalau
ada yang merhatiin dia terus-terusan... khawatir waktu dia sakit...”
“Dia emang nggak sadar,
mungkin...”
“Tapi... tapi... Marisa...
Fazzie... cewek-cewek itu...”
Kak Nathan diam.
Aku meneruskan. “Bisa dengan
mudah deket sama Satria... gimana aku pengen banget kayak mereka... rela
ngelakuin apa aja, ngasih apa aja, apa
aja, biar gampang deket sama Satria... tapi dari dulu, nggak pernah, nggak
pernah bisa...”
“...selalu nyalahin diri sendiri
yang nggak berani maju... nggak maju-maju... tapi Satria terus dateng... nggak
sengaja... kebetulan... kebetulan yang menyenangkan...”
“...dan kebetulannya diterusin...
Satria nggak tau apa aku seneng banget waktu itu...”
“...terus semuanya ilang gitu
aja, menjauh, menghindar, yang bahkan nggak tahu alasannya apa... nggak pernah
sms lagi... gara-gara aku ngeliat status BBMnya si Marisa itu...”
“...gara-gara Fazzie, Fazzie yang
dengan mudahnya bilang Satria suka sama dia, koar-koar ke semua orang, ke
temen-temennya, kalo Satria sama dia sering disorakin norak sama anak-anak...
dasar childish, kayak gitu aja
ditanggepin...”
“...dan bodohnya aku... aku bego
ya Kak, suka sama dia...”
“Maya,” kudengar suara tegas Kak
Nathan, dan aku terdiam sesenggukan. “Nggak ada ya yang namanya bodoh karena
naksir orang. Dan jangan nyalahin dirimu sendiri! Kamu udah cukup sakit karena
hal-hal ini dan jangan tambah nyakitin dirimu sendiri! Udahlah.”
“Kakak...”
“Udah, jangan nangis...” kata Kak
Nathan. “Malu tuh sama Akane.”
Aku memandangi Akane yang sedang
makan dengan lahap. “Kenapa emangnya?” tanyaku heran, tetapi berhenti menangis.
“Nggak apa-apa sih...”
Aku mendengus.
“Sabar dulu May. Kamu pasti bisa.
Udah nggak usah ngurusin mereka-mereka dulu hari-hari ini. Fokus kuliah dulu
aja, nggak usah keluar-keluar rumah, di rumah aja ngapain gitu. Nulis, baca,
nge-dance, apalah. Mainin Akane. Tenangin dirimu aja. Nggak usah peduliin
kata-kata orang. Live your life...”
“...imma live my life. After School’s
song... how could you know that?” kataku, menyela sebelum Kak Nathan menyelesaikan
kalimatnya.
“How could I forget? You spent three years telling me some quotes you’ve
found from Kpop songs.”
*
* *