Shooting
Siang itu aku menghabiskan waktu
di perpustakaan, menyelesaikan laporan Farmakologi, membaca novel milik Donny
Dhirgantoro yang berjudul 2, mendengarkan The
Chaser milik Infinite berulang kali, mencari bahan untuk mengerjakan tugas
Konservasi, berusaha melupakan pembicaraanku dengan Fazzie, mengabaikan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi besok, dan mencegah kantung air
mataku bocor.
Hannah mengirimiku sms jam dua
belas siang, memintaku menemaninya makan, tetapi aku menolaknya, dengan alasan
malas makan. Aku bertanya apakah kuis Anatominya berjalan lancar, dan dia hanya
menjawab ‘oke’.
Raga mengirimiku sms jam setengah
satu siang, menanyaiku apakah aku akan datang untuk melihat pertandingan
basketnya nanti. Aku mengiriminya sms panjang yang menjelaskan tentang
keinginanku untuk datang, tetapi bingung karena Oki sedang praktikum. Dia
menawariku untuk pergi bersamanya (seperti tebakan Fazzie), yang langsung kutolak
mentah-mentah.
Setelah itu Hannah mengirimiku
pesan lagi, yang mengabari bahwa Raga mencariku. Aku tidak membalas pesan itu.
Tetapi entah bagaimana Raga bisa
menemukanku di sudut favoritku di perpustakaan, jam setengah tiga sore ketika
perpustakaan sudah hampir ditutup.
“Noona,” katanya.
Aku yang sedang mendengarkan Sorry But I milik C-Real (dan hampir
saja menangis) melepas headphone dan
kaget melihatnya datang.
“Kok kamu tahu aku disini?”
“Feeling,” dia nyengir.
“Kamu nggak praktikum Biokim?”
“Aku shift satu, udah selesai
barusan. Pergi bareng aku yuk, Kak?”
“Ke GOR? Sekarang? Tapi kan
pertandingannya baru jam empat nanti...”
“Pemain emang disuruh dateng
sejam sebelum pertandingan, Kak.”
“Tapi...”
“Maaf Mbak, Mas, perpustakaannya
udah mau tutup...”
Seorang pria sudah menghampiri
kami ketika kami sedang berdebat.
“Oh, iya Pak...” kataku, lalu
membereskan buku-buku dibantu Raga. Kuambil tasku di loker, lalu mengembalikan
kunci loker pada petugas, yang menyerahkan kartu mahasiswaku.
“Kakak tadi nggak makan siang,
ya?” tanya Raga, yang tepat sekali.
Aku sedang memasukkan laptop ke
tasku, berhenti mendengar tebakan Raga. “Kok kamu tahu.”
“Soalnya Hannah sendirian,” jawab
Raga, yang menjelaskan segalanya.
Aku tidak ingin bertanya lebih
lanjut.
“Noona,” kata Raga kemudian, ketika aku selesai memasukkan
barang-barangku ke dalam tas. “Kenapa wajahmu seperti mau menangis?”
“Ha? Kamu ini ngomong apa.”
Raga tersenyum. “Something happened?”
Aku terdiam, bayangan Fazzie
muncul, kata-katanya berlintasan di benakku. Ya, aku memang mau menangis. Dan
aku benci karena Raga bisa menebakku. Tidak ada yang bisa menebak perasaanku
sebelumnya, selain Oki. Oki yang sudah bertahun-tahun kenal aku.
Sementara Raga, yang baru
beberapa minggu–bahkan belum genap sebulan–mengenalku, sudah bisa menebak
pikiranku dengan tepat.
“Tell me,” ujar Raga. “I would
be happy to relieve your stress...”
Aku benar-benar tidak ingin
menangis lagi di depan anak ini, tidak sekarang, tidak di satu jam sebelum
pertandingan final yang penting baginya.
“Bodoh,” ujarku akhirnya,
tertawa. “Nggak ada apa-apa. Cepatlah pergi, nanti kamu dimarahi pelatih...
kamu kan kapten,” kataku, mengusirnya.
“Lho, kan bareng noona.”
“MAYA!”
Teriakan Oki dari belakang itu
benar-benar membuatku lega. Sudah berkali-kali Oki meneriakiku tetapi baru
sekarang inilah teriakannya bisa membuatku senang.
“Udah selesai?” tanyaku gembira.
“Udah check list?”
Di akhir praktikum Radiologi
Dental biasanya ada sesi check list dengan
asisten praktikum. Praktikan sudah diberi check
list apa-apa saja yang bisa terlihat dengan jelas pada radiograf yang
dihasilkan saat praktikum. Asisten akan membantu pada sesi ini.
“Udah dong. Radiografku
elongasi,” kata Oki, menunjukkan hasil praktikumnya padaku. Gambaran gigi seri
depan alias incisivus centralis-nya terlihat memanjang.
“Katanya sih kalo gigi anterior
emang resiko elongasinya lebih besar. Giginya siapa nih?” tanyaku, memberikan
radiograf itu pada Raga, yang memintanya.
“Si Gina. Punya dia oke. Soalnya
dia foto bagian posteriorku kan,” cerita Oki. “Ternyata aku impaksi...”
“Keliatan emangnya?”
“Keliatan. Dia mau foto molar
pertamaku, tapi filmnya terlalu ke belakang, jadi yang molar tiganya keliatan
jelas. Tidur dia.”
Aku membayangkan gigi geraham
bungsu Oki tumbuh mendatar sehingga menabrak gigi geraham yang di sebelahnya.
“Operasi deh operasi.”
“Kapan-kapan deh,” kata Oki. “Lo
nggak ke GOR, Ga?”
Oki menegur Raga yang sedang
terkesima melihat radiograf itu.
“Sebentar lagi, Kak,” kata Raga,
menyerahkan radiograf pada Oki. “Jadi... Kak Maya pergi bareng Kak Oki nih?”
Dia terlihat kecewa.
“Lho, jadi kalian mau pergi
bareng?” kata Oki nyengir. Kupukul perutnya.
“Duluan aja, Raga,” kataku jelas.
“Oke deh,” ujar Raga tertawa. Dia
lalu bersiul-siul melangkah menuju tempat parkir.
Aku menghela napas panjang.
“Dan kenapa kamu kayak mau
nangis?” tanya Oki.
*
* *
Oki mengajakku makan (memaksa,
sebenarnya) di warung Padang di dekat GOR, tempat biasanya anak-anak futsal
makan bersama.
Dan ini adalah tempat Satria
pernah mengajakku makan siang.
“Kenapa mesti disini sih,”
gumamku kesal.
“He? Kenapa emangnya?” tanya Oki
yang sedang menuangkan bumbu rendang ke nasinya.
“Nggak papa,” kataku, cemberut.
“Kenapa sih?” Oki memandangku
lekat-lekat. “Satria?”
“You know who.”
“Voldemort??” tanya Oki dengan
dramatis.
Aku memandanginya tajam
(ini-bukan-bercandaan-kamu-tahu-kan-mood-ku-lagi-rusak?).
Oki mengerti dengan segera. “Oke,
oke,” ujarnya, menyuap nasi. “Raga nembak kamu?”
“Ah, bukan!” ujarku cepat.
“Satria...”
“Satria nembak kamu?” Oki
melongo.
Aku tersedak es teh. “BUKAN!”
kataku langsung, meski aku berharap itu akan terjadi.
“Tapi kamu pengen kan,” kata Oki.
“Well,” aku berdehem. “Sebenernya...”
Aku menceritakan detail
pembicaraanku dengan Fazzie siang tadi dengan suara bergetar.
“Satria... nggak naksir Fazzie,
kan?” tanyaku ragu-ragu.
Oki mengunyah dengan tampang
serius. “Kita emang pernah sih ngejekin mereka pas mereka duduk bareng,”
katanya. “Tapi sepanjang yang aku tahu, Satria cuma suka Marisa...”
“Terus kok Fazzie bilang gitu,”
kataku bingung.
“Aku juga nggak tahu.”
“Besok final...” kataku pelan.
“Maya,” sahut Oki, “mungkin ini
cuma salah paham.”
“Salah paham gimana? Orang
Fazzie-nya sendiri yang bilang kalau Ary bilang Satria mau nembak seseorang pas
final... dan Fazzie juga diminta dateng di setiap pertandingan Satria...”
kataku nyaris menangis. “Fazzie selalu dateng pas pertandingan, kah?”
“Setelah kamu bilang begitu,
ternyata iya,” kata Oki, dan aku merasa pertahanan Satria-hanya-suka-Marisa-nya
runtuh. “Dari pertandingan awal sampai pertandingan lalu yang kamu nggak bisa
dateng, Fazzie dateng terus...”
“Tuh, kan...”
“Tenang dulu deh,” ujar Oki.
“Bisa aja kan sebenernya Fazzie yang suka duluan sama Satria, terus salah paham
gara-gara sikap anak-anak yang seolah-olah mengatakan kalau Satria suka sama
Fazzie.”
“Kalian sih,” aku menyalahkan Oki
dan teman-temannya.
“Denger dulu,” kata Oki jengkel.
“Aku nggak ikut-ikutan tentang masalah ini. Aku bahkan nggak tau kalau Satria
pernah bilang mau nembak Fazzie di final futsal.”
“Berarti Satria mau nembak
Marisa, kalau gitu.”
“Setidaknya kupikir gitu,” sahut
Oki.
Aku memasang raut muka muram.
“Kukira kamu lagi nggak mau salah
paham sama sikap Satria sama kamu,” kata Oki tiba-tiba.
“Ya, emang... tapi kan...”
“Suka beneran ya?”
“...nggak tahu.”
“Bagaimana kalau kamu coba
sekali-sekali mempertimbangkan perasaan Raga.”
“Takutnya cuma pelarian. Raga
terlalu baik,” kataku menolak. “Kasihan nanti.”
“Dicoba nggak ada salahnya, lho.”
Sore itu aku menolak menghabiskan
nasi padangku.
*
* *
Oki telah mengatakan sesuatu yang
mengingatkanku tentang tujuanku sebenarnya: bahwa sesungguhnya aku tidak ingin
terlalu berharap pada Satria. Aku tidak ingin menyalahpahamkan sikap-sikap baik
Satria selama ini padaku. Aku juga tidak ingin sampai pada kesimpulan ‘Satria
naksir Maya’.
Aku juga tidak menutup
kemungkinan yang diutarakan Oki tadi. Bahwa Fazzie bisa saja naksir Satria
duluan, kemudian gara-gara Satria bersikap baik pada Fazzie, Fazzie mengira
Satria suka padanya.
Tapi hati kecilku yang jahat
berkata begini: kalau masalahnya adalah
bersikap baik, Satria lebih sering melakukan hal baik padamu, Maya. Kau tidak
mengira Satria suka padamu, kan?
Tentu saja, karena aku tidak
ingin salah paham. Karena aku tahu bahwa Satria suka pada Marisa. Karena sejak
aku menemukan status Marisa kemarin dulu, aku memutuskan untuk mundur
pelan-pelan. Memutuskan untuk tidak menganggap apapun yang Satria lakukan padaku
adalah tanda-tanda bahwa dia naksir aku.
Tetapi
Fazzie, yang kelihatannya sama sekali tidak dekat dengan Satria, dengan mudah
mengatakan bahwa Satria menyukainya. Bahkan dengan alasan yang konyol, amat
konyol. Kau setuju kan, Maya?
Siapapun akan mengira hal yang
sama kalau ada di posisi Fazzie... apalagi kalau kau menyadari bahwa kau adalah
gadis cantik yang memesona banyak pria.
Kau
rela, kalau besok tiba-tiba kau mendengar berita bahwa Fazzie dan Satria
pacaran? Mau kau kemanakan perasaanmu? Kau sudah menjalin hubungan baik dengan
Satria selama beberapa minggu terakhir ini, dan begitu saja mau kau lepas?
Untuk Fazzie yang bahkan tidak yakin dengan perasaannya?
Kalau melepasnya adalah pilihan
yang terbaik, maka aku rela.
Lagipula, sejak kehilangan Yudha,
aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlalu berharap dan terlalu
menggantungkan diri pada orang lain, kan? Kau sudah sampai pada tahap ini,
Maya, kau harus bisa kuat, kau harus bisa mandiri. Kau tidak boleh jadi anak
yang rapuh lagi, Maya.
“Maya...?”
“Ya?” aku tersentak kaget.
“Ngelamun?” tanya Oki di
sebelahku, yang mengunyah popcorn.
“Dapet darimana popcorn itu?”
tanyaku bingung.
“Tadi beli di depan... kamu aku
tanyain nggak jawab, jadi aku cuma beli satu,” jelas Oki santai.
“Sori... lagi ngomong sama diri
sendiri,” ujarku apa adanya.
Oki manggut-manggut. “Fazzie
tuh,” dia mengangguk ke arah kiriku. Kulihat Fazzie dan geng cantiknya duduk di
sana, beberapa baris di atasku. Fazzie melambai ke arahku, tersenyum.
Aku hanya bisa membalas senyumannya
setengah hati.
“Satria otw,” kata Oki, dan
kulihat dia sedang membuka pesan di ponselnya.
Aku berpura-pura tidak peduli
dengan mengangguk singkat. Kupandangi punggung Raga, yang sedang berlari-lari
di lapangan, melakukan pemanasan. Peluh menetes-netes dari pelipisnya, membuat
wajah dan lehernya basah. Dia pasti lelah, pikirku. Praktikum Biokimia dan
harus langsung bertanding di final basket.
Beberapa menit kemudian, GOR
penuh dengan orang-orang. Pendukung FKG datang beramai-ramai, junior dan seniorku,
membawa poster yang sama dengan yang kemarin, sterofoam besar bertuliskan FKG,
dan sterofoam yang dipotong-potong membentuk huruf-huruf yang akan menyusuh
kata ‘DENTISTRY’. Hari ini dresscode kami
putih-putih.
Yel-yel kami dikumandangkan lagi
bahkan sebelum pertandingan dimulai. Aku bermaksud mencomot popcorn Oki ketika
tanganku tiba-tiba menyentuh tangan seseorang. Kupikir itu tangan Oki.
“Eh, sori,” kataku pada sang
pemilik tangan. Aku langsung kaget begitu menyadari bahwa itu adalah tangan Satria
yang hendak mengambil popcorn Oki juga. Aku tidak memerhatikan kalau Satria
sudah datang dan duduk di sebelah Oki.
“Nggak apa-apa,” ujar Satria,
menarik tangan dari kantung popcorn.
Aku mengambil segenggam popcorn
dan mengalihkan perhatianku ke lapangan, sebisa mungkin menenangkan debaran
jantungku yang semakin kencang. Aku tidak ingin melihat Satria dengan kemeja
putih panjang yang lengannya digulung sampai siku, yang dikenakannya di atas
kaus hitam polos.
“Hannah mana?” tanya Oki, tidak
menyinggung kejadian barusan.
“Asistensi mikro,” jawabku.
“Yaah,” kata Oki, dan aku senang mendengar
nada kecewa di suaranya.
Tim basket FKG sudah selesai
melakukan pemanasan dan sekarang sedang berkumpul di sisi lapangan,
membicarakan taktik. Sesuatu terlintas di benakku. Aku lantas berjalan ke
samping, melewati Oki, melewati Satria, melewati beberapa teman sekelasku,
melewati beberapa juniorku, dan menuruni tangga menuju pagar pembatas di atas
lapangan.
“RAGA!” panggilku keras.
Raga yang sedang menenggak air, menoleh
mendengarku.
Entah apa yang menyambarku,
tiba-tiba saja aku ingin melakukan tanda yang biasanya dilakukan Raga padaku.
Kukepalkan tangan kananku, kutepuk ke dada kiriku, kemudian kubentuk pistol
dari tangan kananku, menyentuhkan ujung telunjuk ke pelipis, dan mengarahkannya
pada Raga. Dia tampak kaget, namun senang, karena senyumnya muncul di wajahnya
yang tegang. Dia melakukan hal yang sama padaku.
“FIGHTING!” teriakku, mengepalkan kedua tanganku.
Aku menyadari bahwa tindakanku
barusan–dan mungkin tindakan Raga juga–membuat seisi GOR riuh rendah. Teriakan
keras terutama muncul dari bangku pendukung FKG. Beberapa cewek yang duduk di
sebelah barat GOR, yang tidak kukenal, juga berteriak-teriak. Mungkin mereka
fans Raga yang kemarin menonton pertandingan FKG melawan FH.
Ketika aku kembali ke tempat
dudukku, banyak orang berbisik-bisik. Aku bisa menebak apa yang mereka
bicarakan, karena Oki menepuk-nepuk bahuku begitu aku duduk, dan bicara seperti
ini:
“Bikin sensasi ya, May?”
Aku nyengir senang.
Waktu itu, aku hanya berpikir
untuk memberi semangat pada orang yang sudah berbaik hati ada untukku setiap
aku mengalami kesulitan.
Terpikirkan olehku untuk sekadar
melirik Satria, melihat bagaimana ekspresinya.
Pendukung FEB berduyun-duyun
datang mengisi bangku penonton di seberang pendukung FKG. Mereka didominasi
warna biru. Spanduk yang dipakai juga tak kalah heboh dari pendukung FKG.
Dan samar-samar, aku melihat
sesosok gadis yang mengenakan blus biru muda, tampak-seperti-Mandy. Wajahnya
tak berubah dari pertama dan terakhir kali aku bertemu dia, tampak-dewasa
karena make-up yang cukup tebal,
pipinya merah karena blush-on. Dia
kelihatan bahagia. Bukannya aku tak senang, tapi... kau tahulah apa yang
kupikirkan.
Pertandingan dimulai dengan bel
keras. Lagi-lagi Raga yang mendapatkan bolanya duluan setelah dilempar wasit,
kemudian dengan cepat men-dribble-nya
ke ring lawan. Namanya dipanggil bersahut-sahutan oleh para pendukung FKG yang
ramai.
Aku ikut mengeluh keras ketika
Raga melepas bolanya dan salah satu pemain lawan membawa bola ke ring FKG.
Buru-buru aku meneriakkan nama Wahyu, yang kebetulan ada di dekat ring–berharap
cowok itu bisa mencegah lawan memasukkan bola ke ring.
“YEAYY, WAHYUUUU!” terdengar
kencang setelah Wahyu berhasil mencegah bola masuk dengan pukulannya. Bola itu
bergulir di udara dan langsung diambil Robi yang melompat tinggi. Para
pendukung FKG meneriakkan nama Robi sementara aku menahan napas melihat Robi
melewati pemain lawan dengan mulus dan dalam beberapa detik sudah sampai di
dekat ring lawan. Tepat pada saat itu seseorang bertubuh besar bernomor
punggung 13 menghalangi langkah Robi.
Aku mengenali orang bertubuh besar
itu.
“Ardi?” bisikku perlahan.
“Ng? Kamu baru sadar,” kata Oki,
mengunyah popcorn. “Kamu kemana aja tadi.”
Dan kulihat di bangku pendukung
FEB, Mandy dan salah satu teman dekat Yudha yang satu SMA denganku, Tomi,
berteriak-teriak menyemangati Ardi yang bermain di lapangan. Kalau kau tidak
ingat, Ardi dan Tomi (serta Mandy) adalah orang-orang yang pertama kali tahu
tentang berita kepergian Yudha.
“Nah, sekarang mereka melihatmu,”
kata Oki di telingaku. “Sedang berbisik-bisik... sebentar lagi ngeliat
kesini... satu... dua... tiga...”
Dan pada hitungan ketiga, Tomi
yang sudah dibisiki Mandy tadi memandangku. Mereka berdua terlihat kaget
setelah menyadari kedatanganku–seolah tidak mengharapkan bertemu aku disini.
Tentu saja lah, masa aku tidak
mendukung tim dari fakultasku sendiri?
Aku memusatkan perhatian ke
pertandingan lagi dan kali ini, bermaksud tidak memandang kedua orang yang aku
kenal yang duduk di bangku penonton di seberangku.
Yel-yel FKG dikumandangkan lagi.
Aku berteriak-teriak cukup keras–lebih tepatnya menjerit, meneriakkan ‘RAGA
FIGHTING’ beberapa kali dan beberapa kali pula teman-temanku meneriakiku,
berkata bahwa masih ada yang lain yang harus di-support. Aku berdiri untuk
melihat lebih jelas ketika Wahyu men-dribble bola dengan cepat menuju ring
lawan tanpa ada yang menghalangi dan dengan mulus melakukan lay up untuk memasukkan bola–kedudukan
sekarang 18-22 untuk FKG. Beberapa saat yang lalu FKG tertinggal cukup jauh,
tetapi berkat serangan bertubi-tubi dari Raga mereka sampai pada skor sekarang.
Pelatih FEB meminta time-out. Pertandingan dihentikan untuk
sementara. Para pemain menyisih ke pinggir lapangan untuk berbincang dengan
pelatih masing-masing. Raga langsung meraih botol air minum dan menenggak
setengah isinya–yang berlebihan, hingga menetes-netes dari dagunya. Aku tidak
bisa menahan keinginanku untuk meliriknya terus-terusan, bahkan tidak memberi
kesempatan untuk mataku berkedip. Tanpa sadar kuraih botol minumku sendiri dan
kuteguk air yang ada didalamnya.
Kantung popcorn Oki sudah habis.
Aku manyun ketika Oki mengutarakan fakta ini begitu aku hendak meminta
popcorn-nya.
Pertandingan yang hanya dilakukan
dua set karena terbatasnya waktu itu dimulai lagi. Raga tampak panik, karena
timnya ketinggalan angka cukup jauh. Kuteriakkan kata-kata penyemangat ketika
tim lawan memasukkan bola lagi ke ring FKG, seperti ini:
“NGGAK PA-PA! NGGAK PA-PA!”
Yang langsung diikuti oleh
kebanyakan pendukung FKG.
“FOKUS, FOKUS!” teriak Oki
bertepuk tangan, bersikap seperti coach mereka.
Kupukul bahunya. Coach yang asli,
yakni kakak angkatan yang lebih tua tiga tahun di atasku–yang sekarang sedang
menjalani co-ass–juga terlihat sibuk
memutar-mutar tangannya dan berteriak-teriak pada anggota timnya.
Kami mengumandangkan yel-yel lagi
sementara Jun, teman Hannah, men-dribble bola menuju ring lawan lagi. Kemudian
entah siapa yang mulai–kukira suaranya muncul dari deretan bangku atas, yang
merupakan tempat duduk anak-anak co-ass
yang datang dengan jas putih-putih–teriakan ‘three point’ mendadak berkumandang berkali-kali. Mungkin untuk
mendesak seseorang dari tim FKG melakukan three
point lagi, mengingat waktu pertandingan kurang semenit lagi.
Aku memejamkan mata, berdoa pada
Tuhan agar membiarkan kami memenangkan pertandingan ini. Kuremas tanganku yang
berkeringat karena gelisah, melirik timer
tepat di atas papan skor.
Semoga
datang keajaiban... aku
mengatupkan kedua tanganku cemas.
Tepat pada saat itu Raga melompat
tinggi, melakukan tembakan yang jauh dari tempatnya berdiri–astaga, tidak mungkin, tidak mungkin bola
itu masuk, jaraknya terlalu jauh...
SRAKKKK.
Bolanya masuk dengan mulus–dan
dramatis. Tiga poin bertambah untuk skor tim FKG, menjadi 38-37. Papan skor
berubah, tepat ketika timer
menunjukkan waktu 00:00.
“NICE!” kudengar Oki berteriak,
samar-samar kudengar suara Satria berseru “YEAAH!”, dan lebih banyak lagi
jeritan-jeritan dari para mahasiswi.
Aku ikut berdiri, bersorak
kencang bersama suporter FKG yang lain. Raga melakukan kebiasaannya lagi,
menyentuhkan telunjuknya ke bibir, kemudian mengacungkannya sembari berlari
mengelilingi lapangan. Aku sibuk menyerukan namanya.
“RAGAAAAAA!”
Beberapa cewek tak dikenal yang
kulihat di awal pertandingan tadi terlihat menjerit-jerit kesenangan ketika
Raga berlari lewat lapangan di bawah bangku mereka.
Suporter FKG berpelukan,
berteriak-teriak senang. Aku nyaris menangis bahagia ketika tersadar bahwa ini
hanyalah final pertandingan basket antar jurusan di kampus yang sama, bukan
final pertandingan badminton Thomas dan Uber Cup dimana Indonesia mengalahkan
China–meski kupikir euforia-nya akan, kurang-lebih, sama. Aku bertepuk tangan
senang, masih bersorak-sorai bersama rombongan FKG yang putih-putih.
Para pemain saling berpelukan,
memberi salam, kemudian berbalik menghadap pendukung masing-masing dan
melambaikan tangannya, yang disambut teriakan meriah. Kemudian mereka kembali
berkumpul di pinggir lapangan untuk minum dan beristirahat sejenak sebelum ada
pengumuman juara, dan pengumuman siapakah yang menjadi MVP.
Bangku penonton FKG riuh-rendah,
mengumandangkan yel-yel entah berapa kali, dan disambut oleh senyuman–lebih
tepatnya cengiran–para pemain di bawah yang mengawasi suporter-suporter maniak.
Aku mengawasi punggung bernomor 8
itu mengelap keringatnya dengan handuk berwarna biru muda yang dikeluarkannya
dari tas besarnya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bola basket–mungkin itu
miliknya–tapi apa yang mau dilakukannya
dengan bola basket itu?
Sedetik kemudian aku tahu. Dia
berbalik dari duduknya, berdiri menghadap suporter-suporternya; tidak, bukan,
dia berdiri, menghadapku.
“NOONA!” samar-samar aku mendengar (dan melihat) Raga mengucapkan
kata sakti itu.
Aku membelalak kaget ketika dia
melemparkan bola basketnya tepat ke arahku. Semua orang di bangku yang ada di
dekatku menoleh ketika bola itu bergulir di udara dengan gerakan pelan, mengira
bola itu tidak akan sampai pada siapapun orang yang dituju, karena jarak dari
lapangan menuju bangku penonton cukup tinggi–dan jauh. Tetapi, karena sudah
melihat kemampuan Raga yang tak perlu diragukan lagi, dengan optimis aku
berdiri dan menangkap bola itu, meski agak sedikit tergelincir.
Ada tulisan dari spidol hitam
yang ditulis di bola berwarna oranye itu. Tulisan Korea. Hangul.
Dan aku, yang sama sekali tidak
pernah mendapat pelajaran bahasa Korea secara resmi sebelumnya, bisa membaca hangul itu, saking seringnya aku melihat
kata-kata itu.
Saranghaeyo,
noona
“Nice shoot,” gumam Oki, yang melihat bola itu.
*
* *