10 Okt 2012


Setelah menghabiskan semalaman termenung dan terdiam, aku mendapat mimpi buruk lagi. Tentang Satria lagi, dan tentang rumah sakit lagi. Tapi anehnya, aku tidak buru-buru bangun ketika mimpi itu berakhir sama dengan mimpi beberapa hari yang lalu. Aku terdiam, memejamkan mataku lagi, seolah ingin melihat apa kelanjutan mimpi itu.
Namun sayang sekali aku terpaksa dihentikan oleh dering telepon.
“Halo?” kataku enggan-engganan.
“May? Mau bareng?” tanya Oki.
“Nggak, deh... pake sepeda aja.”
“Serius? Kamu nggak akan tiba-tiba pingsan di jalan kan.”
“Hahaha... enggak lah, emangnya aku anak lemah yang sakit-sakitan.”
“Kamu tahu maksudku.”
“Aku oke kok.”
“Beneran? Mendung lho.”
“Terus kenapa? Kan belum hujan.”
“...”
“Sarapan sana.”
“...iya deh.”


Aku menghembuskan napas panjang-panjang setelah menutup telepon. Menghindari membangunkan Akane yang bergulung tertidur di kursi belajarku, aku membuka jendela kamarku pelan-pelan. Udara dingin langsung merasuk ke kulitku. Matahari masih tertutup awan gelap. Rupanya Oki benar. Bukannya aku mengira dia berbohong, aku hanya sekedar memastikan.
Mbok Yati datang tepat waktu, seperti biasa. Aku memintanya mengepel rumah, karena akhir-akhir ini aku merasa sering sekali pilek akibat debu. Pilekku tidak sembuh-sembuh. Kadang aku heran sendiri.
Seusai sarapan (oatmeal dan susu cokelat rendah lemak), kukenakan jaket tebal di atas kemeja pink garis-garisku. Tentu saja aku berangkat ke kampus dengan persenjataan seperti biasa, headphone dan MP3 player yang memutar lagu-lagu penyemangat. Lagipula aku sedang tidak ingin mendengarkan lagu-lagu galau.
“Saya berangkat ya, Mbok,” pamitku pada Mbok Yati.
“Hati-hati, Mbak...”
Kampus masih sepi, seperti biasanya kalau aku datang pagi-pagi untuk menghindari kemacetan. Dan orang-orang pun akan bertanya ‘Kok datengnya pagi banget, May?’ dan biasanya aku hanya menjawab dengan senyuman. Aku naik ke lantai dua, ke kelas yang akan digunakan untuk kuliah pagi ini, dan tidak mengharapkan ada seorangpun di dalam kelas.
Ternyata harapanku tidak terkabul. Sudah ada seseorang di dalam sana, duduk di bangku belakang, tempat yang biasanya diisi oleh anak-anak cowok. Cowok itu menoleh ke pintu di bagian belakang ketika aku membukanya dengan bunyi berderit.
“Hai,” sapa Satria–aku hanya bisa membaca gerak bibirnya karena kebetulan volume MP3 player-ku cukup kencang–dan dia tersenyum padaku.
Aku tersentak, langsung teringat akan mimpiku semalam. Mengangguk tanpa tersenyum, aku berusaha santai dan berjalan melewati bangkunya menuju bangku bagian depan.
Hai, katanya. Hai. Mungkin kata pertamanya sejak dia jadian dengan cewek itu.
Sebisa mungkin aku tidak mengacuhkan fakta bahwa aku cuma berdua dengan Satria di kelas. Aku juga tidak bertanya-tanya kenapa Satria datang pagi-pagi sekali, di luar kebiasaannya yang datang telat.
Oke, mungkin aku sedikit penasaran.
Karena, kupikir pada hari pertama kuliah sejak mereka jadian, mereka akan datang bersama, agak telat, dan memasuki kelas bersama, supaya bisa disoraki oleh anak-anak sekelas.
Itu hanya pikiran negatifku.
Kuutak-atik MP3 player-ku, mencari lagu yang kusukai. Tepat ketika intro lagu Keeping Love Again milik SHINee muncul, tiba-tiba bangku di sebelahku bergerak. Satria menggesernya agar bisa duduk di kursi itu. Aku menoleh kaget padanya. Dia mengetuk-ngetuk telinganya, mungkin isyarat agar aku melepas headphone dan bisa mendengar apa yang hendak dia katakan. Patuh, aku menghentikan lagu yang sedang diputar dan menurunkan headphone.
“Mau nanya PK dong,” dia mengeluarkan buku praktikum Patologi Klinik yang tebal itu, dan membuka-buka halamannya. Kami akan responsi PK dua hari lagi, dan aku baru ingat bahwa aku belum belajar.
“Aku... belum belajar,” kataku, mengawasi buku praktikumnya yang dicoret-coret dengan pensil, digarisi pada bagian yang penting.
“Nanya aja, yang leukosit itu, aku nggak nyatet soalnya,” katanya mengacuhkan alasanku. “Kandungan leukosit itu lho, yang dikasih tahu asisten.”
Aku mengingatnya.
“Urutannya dari yang terbanyak itu neutrofil, limfosit, eosinofil, monosit, basofil...” sahutku.
“Limfosit itu spesifik apa?” tanya Satria, mencatat yang kukatakan barusan.
“Mmm,” gumamku mengingat. “Virus kayaknya. Eh, aku keluar bentar ya...”
“Oh?” Satria menoleh ke arahku. “Oke oke. Aku cuma mau nanya itu doang kok. Makasih ya.”
Aku mengangguk-angguk, sedikit gemetaran. Kemudian Satria kembali ke tempat duduknya (yang seharusnya dia lakukan sedari tadi!) dan aku beranjak keluar kelas, menenangkan debaran jantungku. Aku berjalan beberapa langkah menjauh dari kelas, memastikan Satria tidak mendengar langkahku lagi, kemudian berlari menuju toilet yang terletak paling jauh dari kelas itu.
Kalau saja aku tidak menghindari Satria dan tetap berada di sampingnya, dia pasti sudah bisa mendengar detak jantungku yang keras dan kencang bergaung di ruang kelas yang sunyi itu.
Lagipula, apa sih tujuannya membuat jantungku olahraga sepagi ini?
* * *
“Ah, aku kesaaalll!” teriakku frustasi, mengacak-acak rambutku.
Raga menepuk-nepuk bahuku. “Sabar ya Kak,” katanya. “Ujian mungkin... buat ngetes Kak Maya.”
“Sebel,” sahutku gusar, “maksudnya apa sih duduk di sampingku kayak gitu dan ngajak ngobrol? Nggak tahu apa perasaanku diaduk-aduk kayak semen?”
“Kak,” Raga menempelkan telunjuk di bibirnya. “Semua orang bisa denger kita...”
Aku mengerling ke sekelilingku. Kantin itu ramai, memang. Pukul dua belas siang ketika semua sedang istirahat (atau sudah pulang, sehingga memutuskan untuk berlama-lama di kantin) dan makan siang di kantin.
“Dari pagi mendung ya?” komentar Raga, menyuap supnya.
Aku mengangguk. “Iya... jadi takut nih pulang sore.”
“Lho, Kakak masih ada kuliah?”
“Iya, kuliah pengganti Farmakologi...” kataku, menghela napas. “Siang-siang gini, mendung, gelap, ngantuk...”
Raga tertawa, mengaduk-aduk supnya, mencari sesuatu.
“Nyari apa kamu?” tanyaku heran, sembari menyeruput es jeruk.
Raga mengangkat sendok dari mangkuk supnya dan memberikanku dua potong kecil daging yang baru saja ditemukannya dari dalam sup. Dia menaruhnya di atas mangkuk supku, tanpa berkata apa-apa. Lalu dia nyengir.
“Kamu itu ya,” aku menggeleng-gelengkan kepalaku. “Aneh-aneh aja,” kusendokkan daging yang baru saja diberikan Raga ke dalam mulutku.
Aku menghembuskan napas.
Raga anak yang sangat baik. Seandainya aku menyukai Raga, maka semuanya akan lebih mudah.
Tapi, bukankah dengan begini aku justru menyakiti perasaan Raga? Makan siang bersamanya (meski tidak janjian sih, kami hanya bertemu begitu saja di kantin, Raga menemukanku yang sedang makan sendirian dan dia menemaniku) dan aku bercerita tentang mimpiku yang buruk, dan kejadian tadi pagi.
Rasanya sama saja kan dengan kejadian berjuta tahun yang lalu waktu Satria menceritakan Marisa padaku.
Tidak kok, tidak sama, waktu itu kan posisinya Satria tidak tahu kalau kau menyukainya. Sementara sekarang, kau tahu bahwa Raga menyukaimu.
Harusnya aku mengerti bagaimana perasaan Raga.
“Habis ini kuliah apa?” tanyaku.
“Praktikum Anatomi,” jawab Raga.
Lalu kami hening lagi.
“Semangat ya,” kataku.
Raga mendadak tertawa. “Ngasih semangatnya nggak semangat gitu.”
“Maaf deh,” aku tersenyum minta maaf.
“KAK MAYA!” teriak seorang perempuan yang kukenal. Kudengar langkahnya berderap menuju mejaku dan Raga.
Hannah, hari itu dengan tampilan yang sama sekali lain. Rambutnya yang pirang dipotong pendek sekali, seperti potongan rambut Sunny SNSD di era The Boys.
“Rambutmu kenapa?” seruku kaget.
“Buang sial,” Hannah nyengir, di tangannya ada atlas anatomi tebal. “Heh, dicari Jun tuh, katanya dia mau minjem cranium...” Hannah beralih memandang Raga.
“Oh, iya,” Raga menepuk dahinya, raut mukanya kelihatan baru saja menyadari apa yang dia lupakan. Cranium yang dibicarakan anak-anak semester dua ini adalah model tulang kepala manusia–tengkorak–yang dibuat oleh manusia dan digunakan untuk mempelajari anatomi tulang manusia yang sebenarnya. Tentu saja tidak mungkin mereka belajar dengan cranium asli. Biasanya anak-anak yang mau belajar dengan menggunakan cranium palsu harus meminjam ke Fakultas Kedokteran Umum dengan membayar sekian rupiah untuk jangka waktu tertentu.
Raga buru-buru menghabiskan supnya yang tinggal sedikit, lalu beranjak dari kursinya.
“Kak, aku duluan ya...” pamit Raga, dan ketika dia melewatiku, dia menepuk-nepuk bahuku. Kupandangi dia berlari keluar dari kantin dan menemui teman-teman yang sudah menunggunya.
Sekarang di hadapanku ada Hannah yang dengan ceria membuka-buka atlas anatominya.
“Raga itu pinter ya Kak?” ujar Hannah.
“Hah? Mana kutahu,” kataku jujur, karena aku sama sekali tidak pernah mendengar cerita bahwa Raga ranking 1 di kelas, atau hal-hal semacam itu.
Hannah tertawa. “Maksudku aku ngasih tahu. Dia sering dimintain tolong ngejelasin anatomi...”
Belajar anatomi memang sulit sekali kalau dilakukan sendirian–kecuali kalau kau merasa bisa melakukannya sendirian–maka kau butuh bantuan teman yang sudah mengerti untuk membuatmu mengerti juga. Disinilah biasanya ketahuan mana anak-anak yang dengan suka rela memberi ilmu pada teman-temannya, atau anak-anak yang pelit sekali memberi penjelasan. Anak-anak yang baik itu juga terbagi lagi, mana yang menjelaskan dengan enak, dan mana yang menjelaskan dengan menggurui, atau yang menjelaskan dengan sok tahu.
Sementara Hannah berkomat-kamit menghapal bagian-bagian tulang belakang alias vertebra cervicalis, pandanganku tertuju pada seorang gadis dan teman-temannya yang berjalan penuh pesona dari arah perpustakaan. Itu Fazzie, Fazyra Sastranty, pacarnya Satria Maheswara Pambudi, yang hari ini mengenakan blus biru muda dengan rok lipit biru bunga-bunga selutut. Dan kebetulan juga si Satria Maheswara Pambudi yang kita bicarakan sejak pagi itu, yang sekarang ada di kantin bagian luar bersama Oki dan Wira dan Brian dan yang lain-lain, mengenakan kemeja biru polos dengan jins hitam.
Janjian pake baju yang sama, ya.
Menyebalkan.
Dari dalam kantin, kualihkan pandanganku dari pemandangan Fazzie dan teman-temannya yang tak kalah cantik dari dia, yang sudah bertemu dengan Satria.
“Anak itu cantik, ya...” aku mendengar seseorang di meja sebelahku berkata.
“Pacarnya yang itu ya, siapa tuh, kapten futsal...”
“Cocok sih, ceweknya cantik, cowoknya ganteng gitu...”
“Baru jadian kan, mereka?”
“Eh, tapi inget nggak sih, waktu basket itu lho... kan ada yang nembak juga, pake bola basket.”
“Ini bukan sih anaknya? Yang pake kemeja pink di belakangmu.”
Kakak-kakak angkatanku itu bergosip ramai tentang Fazzie dan Satria. Dan Raga dan aku.
Memang cocok sih, cantik, ganteng...
“Han, aku pake headphone ya...” izinku pada Hannah yang menghapal dengan mata terpejam. Hannah mengangguk-angguk, mengiyakan.
Kupasang headphone dan kuputar lagu dengan volume super kencang agar tak perlu mendengar gosip-gosip yang bertebaran di seisi kantin.
Kenapa ya, akhir-akhir ini dunia nggak berputar di sekelilingku, lagi?
* * *
Awan mendung yang terkumpul sejak pagi akhirnya bocor juga, tepat ketika dosen Farmakologi-ku menutup kuliah dengan slide bertuliskan ‘terima kasih’. Aku menjawab dengan ‘sama-sama’, membereskan barang-barangku dengan santai karena hujan mendadak turun dengan deras di luar sana.
“Yah, hujan ya?” celetuk seseorang.
“Hah, hujan?” tanya temanku tak percaya.
“HUJAN?”
“HUJAN???”
Histeria sesaat melanda kelas kami.
“Aduh, cucian, cucian!” seru temanku, disambut dengan dengusan tertawa temanku yang lain.
“Waduh... nggak bawa jas hujan...” sesal salah satu teman Satria.
“Cin, bawa payung nggak? Bareng ya pulangnya...” pinta temanku yang kosannya dekat dengan kampusku.
Hujannya lebih deras daripada yang kuperkirakan. Aku tak bisa kemana-mana tentunya, dengan hanya bermodalkan sepeda dan jas hujan. Mama juga sudah memperingatkanku agar tidak nekat menerobos hujan sembari bersepeda. Aku sudah memutuskan dari awal untuk mematuhi Mama, karena aku sendiri juga takut kalau harus sepedaan dan hujan-hujanan sekaligus. Aku suka keduanya, hanya saja kalau dipisah.
Maka aku menunggu hujan mereda di depan gedung kampusku. Anak-anak yang lain juga menunggu disana, beberapa yang mengendarai mobil menembus hujan untuk menuju mobil mereka, dan beberapa saat kemudian mobilnya lewat, klaksonnya dibunyikan tepat di depan kami yang menunggu hujan, pamit pergi duluan. Anak-anak yang naik motor juga memutuskan untuk ke parkiran, mengenakan jas hujan, dan pulang dengan motor mereka.
“Maya, duluan ya? Aku ada janji sama Bunda...” kata Oki, yang melihatku menunggu hujan reda dengan menyedihkan.
“Iya, salam ya...” kataku pada Oki. Kuamati dia dari kejauhan, memasang jas hujannya, menyalakan motornya, lalu melewatiku dengan motornya keluar dari gerbang kampus.
Lima menit kemudian aku merasa perutku lapar, maka aku memutuskan untuk bertandang sejenak ke warung kecil yang ada di dekat laboratorium anatomi dan biokimia, tempat seorang ibu berjualan gorengan dan kue-kue ringan.
Di depan laboratorium anatomi masih ramai anak-anak semester dua yang komat-kamit bicara bahasa latin. Praktikumnya memang dibagi per shift dan per kelompok. Kudapati Raga duduk di depan lab bersama teman-temannya, yang langsung berseru-seru melihatku mendekat kesana.
“Kak! Kak! Raga nih!” seru mereka norak. Raga yang awalnya duduk, dipaksa berdiri dan dia melompat ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku sambil berjalan menuju warung–kelaparanku semakin menjadi. “Kamu belum masuk?”
“Udah...” kata Raga yang berjalan mengiringiku, menggaruk kepalanya. “Kakak... pulangnya tunggu reda, ya?”
“Iya lah, aku kan bawa sepeda,” kataku heran, selagi memilih-milih gorengan yang disajikan. “Ini berapa, Bu?” tanyaku pada ibu-ibu penjual.
“Kali aja Kakak mau nekat hujan-hujanan.”
“Males banget,” aku tertawa.
“Syukurlah,” Raga ikut tertawa.
“Aku duluan ya,” kataku ketika berpisah dengan Raga di depan laboratorium anatomi.
Raga tersenyum manis.
“Cieeee...” keras terdengar ketika aku menjauh dari kerumunan anak-anak semester dua itu. Aku menggeleng-geleng tak peduli.
Kuhabiskan gorengan yang kubeli dan aku kembali menunggu redanya hujan di depan gedung. Anak-anak yang berteduh datang dan pergi, ketika mereka memutuskan bahwa hujan sudah agak reda dan mereka sudah bisa pulang.
Tak lama kemudian aku melihat Satria berlari-lari dari sisi gedung yang dihujani air dan dia berteduh di dekatku. Ditepuk-tepuknya badannya, menjatuhkan tetes-tetes air yang tadi menghujaninya. Aku hanya melirik sedikit, kemudian bersikap tidak peduli. Beberapa menit berlalu tanpa ada pembicaraan di antara aku dan Satria.
Lalu muncullah Fazzie dan teman-temannya dengan sebuah payung besar yang tidak muat untuk mereka berempat, sehingga mereka tertawa-tawa kegirangan ketika tidak sengaja terkena air yang menetes. Fazzie berlari-lari kecil menghampiri Satria, parfumnya yang menyengat sudah tercium dari jarak dua meter.
“Aku duluan ya, aku bareng Ara...” aku mendengar Fazzie bicara, ditimpali teman-temannya yang bersahut-sahutan centil (“Satria, pinjem Fazzie-nya dulu, ya...”, “Jangan kangen ya, Sat!”, “Nggak usah sedih gitu, Satriaaa.”). Fazzie mengelus tangan Satria dengan lembut. Satria tersenyum, lalu menepuk-nepuk kepala Fazzie sambil berkata “Hati-hati, ya.”
Aku berpura-pura tidak melihat peristiwa itu. Kugosok-gosokkan kedua telapak tanganku sembari menghembuskan napas diantaranya, menghangatkan diri. Kemudian kulihat Fazzie dan teman-temannya berlari-lari kecil sembari tertawa-tawa lagi di bawah payung mereka, menuju parkiran mobil. Mobilnya berjalan pelan ketika melewati kami, dan Fazzie menurunkan jendelanya untuk memberi salam perpisahan pada Satria.
“Apa aku beli mobil aja, ya,” kata Satria tiba-tiba, membuatku menoleh padanya. Dia menggaruk-garuk kepalanya melihat mobil Ara menjauh.
Aku memutar bola mataku. “Kamu membicarakannya seperti hendak membeli makan siang.”
Satria tertawa lemah. “Iya juga ya.”
Aku tidak menyahut apa-apa lagi dan kuperhatikan tetes-tetes air yang membentuk genangan di depanku.
Sepuluh menit kemudian kami hening lagi. Kulirik jamku. Sudah pukul setengah empat sore, setengah jam sejak kami berteduh. Hujan sudah rintik-rintik, tapi agak deras. Aku pun penasaran kenapa Satria tidak pulang saja sedari tadi dan membiarkanku menunggu hujan tanpa ada gangguan.
“Tambah deres aja hujannya,” komentar Satria, begitu suara hujan yang turun semakin cepat dan tetesan air justru semakin banyak. “Badai nih.”
Aku hanya tersenyum kecil.
Beberapa anak-anak semester dua seangkatan Raga dan Hannah keluar dari gedung kampus seusai praktikum anatomi. Mereka berlari-lari menuju tempat parkir motor, atau mengeluarkan payung dan langsung pulang. Tak lama kulihat Raga keluar, menyandang tas ranselnya, dan masih memakai jas praktikum putihnya.
“Lho, Kak Maya?” dia terperangah melihatku berteduh disana. “Kak Satria,” dia menyapa Satria, yang mengangguk.
“Hujannya tambah deres,” kataku, menjawab pertanyaan Raga yang tak terkatakan. Dia memandangku, kemudian memandang Satria, kemudian memandangku lagi.
“Kenapa?” tanyaku tertawa. “Pulanglah...”
Raga ragu sejenak. Aku tersenyum, kemudian mulutku mengucapkan ‘gwaenchana’ tanpa suara. Akhirnya Raga tersenyum. Dia menghampiri Satria, berjabat tangan, saling menepuk bahu, dan berbicara sejenak.
“Belum pulang Kak?” tanya Raga.
“Nggak bawa jas hujan gue, hahaha.”
Oh, pantesan.
“Duluan kalo gitu...” Raga pamit, dan dia berlari mundur sembari melambai padaku.
“Eh awas nabrak...” gumamku melihat Raga berjalan mundur, nyengir, kemudian dia berbalik dan lari-lari lagi. “Dasar!”
“Lho, kamu nggak pulang?” tanya Satria kemudian, setelah dua orang yang sedari tadi berteduh bersama kami sudah pergi.
“Nunggu hujan,” kataku tanpa melihat Satria.
“Oh,” kudengar Satria bicara.
Ngapain nanya, pikirku kesal.
“Nggak bareng... Raga?”
Aku tak tahu mana yang membuatku menoleh padanya, apakah karena Satria mengucapkan nama Raga, atau karena Satria mengira aku akan pulang bersama Raga, yang jelas Satria berhasil membuatku menengok lagi padanya.
“Kirain kamu nunggu Raga. Kan...”
Kusela dia sebelum dia berhasil menyelesaikan kalimatnya. “Aku belum nerima Raga, kok.”
“Oh,” kata itu lagi. “Kupikir...”
Aku menggeleng. “Enggak, kok.”
“Enggak atau belum?” tanya Satria dengan nada menggoda.
“Entahlah,” aku tersenyum dingin.
Hujan akhirnya reda. Berhenti total. Aku memasang headphone dan beranjak dari tempat berteduhku, lega karena bisa lepas dari Satria, dan menegur Satria yang tampaknya sedang mencari-cari kunci motor di dalam tasnya.
“Duluan, ya,” aku menoleh padanya, tersenyum kecil.
“Oh, iya,” kata Satria.
Aku lalu berlari ke tempat aku menyimpan sepedaku. Sepedaku basah, dan ada sesuatu di keranjangnya, terbungkus plastik tebal. Terbungkus memang, tetapi tetap bisa memperlihatkan isi di dalamnya: setangkai mawar warna pink. Mawar asli, bukan plastik. Aku melongo.
Tetapi aku tersenyum ketika membaca tulisan di secarik kertas di dalam plastik itu.

Yang kemarin kurang satu.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates