Terjebak Dalam Hujan
Setelah menghabiskan semalaman termenung
dan terdiam, aku mendapat mimpi buruk lagi. Tentang Satria lagi, dan tentang
rumah sakit lagi. Tapi anehnya, aku tidak buru-buru bangun ketika mimpi itu
berakhir sama dengan mimpi beberapa hari yang lalu. Aku terdiam, memejamkan
mataku lagi, seolah ingin melihat apa kelanjutan mimpi itu.
Namun sayang sekali aku terpaksa
dihentikan oleh dering telepon.
“Halo?” kataku enggan-engganan.
“May? Mau bareng?” tanya Oki.
“Nggak, deh... pake sepeda aja.”
“Serius? Kamu nggak akan
tiba-tiba pingsan di jalan kan.”
“Hahaha... enggak lah, emangnya
aku anak lemah yang sakit-sakitan.”
“Kamu tahu maksudku.”
“Aku oke kok.”
“Beneran? Mendung lho.”
“Terus kenapa? Kan belum hujan.”
“...”
“Sarapan sana.”
“...iya deh.”
Aku menghembuskan napas
panjang-panjang setelah menutup telepon. Menghindari membangunkan Akane yang
bergulung tertidur di kursi belajarku, aku membuka jendela kamarku pelan-pelan.
Udara dingin langsung merasuk ke kulitku. Matahari masih tertutup awan gelap. Rupanya
Oki benar. Bukannya aku mengira dia berbohong, aku hanya sekedar memastikan.
Mbok Yati datang tepat waktu,
seperti biasa. Aku memintanya mengepel rumah, karena akhir-akhir ini aku merasa
sering sekali pilek akibat debu. Pilekku tidak sembuh-sembuh. Kadang aku heran
sendiri.
Seusai sarapan (oatmeal dan susu cokelat rendah lemak),
kukenakan jaket tebal di atas kemeja pink garis-garisku. Tentu saja aku
berangkat ke kampus dengan persenjataan
seperti biasa, headphone dan MP3
player yang memutar lagu-lagu penyemangat. Lagipula aku sedang tidak ingin mendengarkan
lagu-lagu galau.
“Saya berangkat ya, Mbok,”
pamitku pada Mbok Yati.
“Hati-hati, Mbak...”
Kampus masih sepi, seperti
biasanya kalau aku datang pagi-pagi untuk menghindari kemacetan. Dan
orang-orang pun akan bertanya ‘Kok datengnya pagi banget, May?’ dan biasanya
aku hanya menjawab dengan senyuman. Aku naik ke lantai dua, ke kelas yang akan
digunakan untuk kuliah pagi ini, dan tidak mengharapkan ada seorangpun di dalam
kelas.
Ternyata harapanku tidak
terkabul. Sudah ada seseorang di dalam sana, duduk di bangku belakang, tempat
yang biasanya diisi oleh anak-anak cowok. Cowok itu menoleh ke pintu di bagian
belakang ketika aku membukanya dengan bunyi berderit.
“Hai,” sapa Satria–aku hanya bisa
membaca gerak bibirnya karena kebetulan volume MP3 player-ku cukup kencang–dan dia tersenyum padaku.
Aku tersentak, langsung teringat
akan mimpiku semalam. Mengangguk tanpa tersenyum, aku berusaha santai dan
berjalan melewati bangkunya menuju bangku bagian depan.
Hai,
katanya. Hai. Mungkin kata pertamanya sejak dia
jadian dengan cewek itu.
Sebisa mungkin aku tidak mengacuhkan
fakta bahwa aku cuma berdua dengan Satria di kelas. Aku juga tidak
bertanya-tanya kenapa Satria datang pagi-pagi sekali, di luar kebiasaannya yang
datang telat.
Oke, mungkin aku sedikit
penasaran.
Karena, kupikir pada hari pertama
kuliah sejak mereka jadian, mereka akan datang bersama, agak telat, dan
memasuki kelas bersama, supaya bisa disoraki oleh anak-anak sekelas.
Itu hanya pikiran negatifku.
Kuutak-atik MP3 player-ku, mencari lagu yang kusukai. Tepat
ketika intro lagu Keeping Love Again milik SHINee muncul, tiba-tiba bangku di sebelahku
bergerak. Satria menggesernya agar bisa duduk di kursi itu. Aku menoleh kaget
padanya. Dia mengetuk-ngetuk telinganya, mungkin isyarat agar aku melepas headphone dan bisa mendengar apa yang
hendak dia katakan. Patuh, aku menghentikan lagu yang sedang diputar dan
menurunkan headphone.
“Mau nanya PK dong,” dia
mengeluarkan buku praktikum Patologi Klinik yang tebal itu, dan membuka-buka
halamannya. Kami akan responsi PK dua hari lagi, dan aku baru ingat bahwa aku
belum belajar.
“Aku... belum belajar,” kataku,
mengawasi buku praktikumnya yang dicoret-coret dengan pensil, digarisi pada
bagian yang penting.
“Nanya aja, yang leukosit itu,
aku nggak nyatet soalnya,” katanya mengacuhkan alasanku. “Kandungan leukosit
itu lho, yang dikasih tahu asisten.”
Aku mengingatnya.
“Urutannya dari yang terbanyak
itu neutrofil, limfosit, eosinofil, monosit, basofil...” sahutku.
“Limfosit itu spesifik apa?”
tanya Satria, mencatat yang kukatakan barusan.
“Mmm,” gumamku mengingat. “Virus
kayaknya. Eh, aku keluar bentar ya...”
“Oh?” Satria menoleh ke arahku.
“Oke oke. Aku cuma mau nanya itu doang kok. Makasih ya.”
Aku mengangguk-angguk, sedikit
gemetaran. Kemudian Satria kembali ke tempat duduknya (yang seharusnya dia
lakukan sedari tadi!) dan aku beranjak keluar kelas, menenangkan debaran
jantungku. Aku berjalan beberapa langkah menjauh dari kelas, memastikan Satria
tidak mendengar langkahku lagi, kemudian berlari menuju toilet yang terletak
paling jauh dari kelas itu.
Kalau saja aku tidak menghindari
Satria dan tetap berada di sampingnya, dia pasti sudah bisa mendengar detak
jantungku yang keras dan kencang bergaung di ruang kelas yang sunyi itu.
Lagipula, apa sih tujuannya
membuat jantungku olahraga sepagi ini?
*
* *
“Ah, aku kesaaalll!” teriakku frustasi,
mengacak-acak rambutku.
Raga menepuk-nepuk bahuku. “Sabar
ya Kak,” katanya. “Ujian mungkin... buat ngetes Kak Maya.”
“Sebel,” sahutku gusar, “maksudnya
apa sih duduk di sampingku kayak gitu dan ngajak ngobrol? Nggak tahu apa
perasaanku diaduk-aduk kayak semen?”
“Kak,” Raga menempelkan telunjuk
di bibirnya. “Semua orang bisa denger kita...”
Aku mengerling ke sekelilingku. Kantin
itu ramai, memang. Pukul dua belas siang ketika semua sedang istirahat (atau
sudah pulang, sehingga memutuskan untuk berlama-lama di kantin) dan makan siang
di kantin.
“Dari pagi mendung ya?” komentar
Raga, menyuap supnya.
Aku mengangguk. “Iya... jadi
takut nih pulang sore.”
“Lho, Kakak masih ada kuliah?”
“Iya, kuliah pengganti
Farmakologi...” kataku, menghela napas. “Siang-siang gini, mendung, gelap,
ngantuk...”
Raga tertawa, mengaduk-aduk
supnya, mencari sesuatu.
“Nyari apa kamu?” tanyaku heran, sembari
menyeruput es jeruk.
Raga mengangkat sendok dari
mangkuk supnya dan memberikanku dua potong kecil daging yang baru saja
ditemukannya dari dalam sup. Dia menaruhnya di atas mangkuk supku, tanpa
berkata apa-apa. Lalu dia nyengir.
“Kamu itu ya,” aku
menggeleng-gelengkan kepalaku. “Aneh-aneh aja,” kusendokkan daging yang baru
saja diberikan Raga ke dalam mulutku.
Aku menghembuskan napas.
Raga anak yang sangat baik. Seandainya aku menyukai
Raga, maka semuanya akan lebih mudah.
Tapi, bukankah dengan begini aku
justru menyakiti perasaan Raga? Makan siang bersamanya (meski tidak janjian
sih, kami hanya bertemu begitu saja di kantin, Raga menemukanku yang sedang
makan sendirian dan dia menemaniku) dan aku bercerita tentang mimpiku yang
buruk, dan kejadian tadi pagi.
Rasanya sama saja kan dengan
kejadian berjuta tahun yang lalu
waktu Satria menceritakan Marisa padaku.
Tidak
kok, tidak sama, waktu itu kan posisinya Satria tidak tahu kalau kau
menyukainya. Sementara sekarang, kau tahu bahwa Raga menyukaimu.
Harusnya aku mengerti bagaimana
perasaan Raga.
“Habis ini kuliah apa?” tanyaku.
“Praktikum Anatomi,” jawab Raga.
Lalu kami hening lagi.
“Semangat ya,” kataku.
Raga mendadak tertawa. “Ngasih
semangatnya nggak semangat gitu.”
“Maaf deh,” aku tersenyum minta
maaf.
“KAK MAYA!” teriak seorang
perempuan yang kukenal. Kudengar langkahnya berderap menuju mejaku dan Raga.
Hannah, hari itu dengan tampilan
yang sama sekali lain. Rambutnya yang pirang dipotong pendek sekali, seperti
potongan rambut Sunny SNSD di era The Boys.
“Rambutmu kenapa?” seruku kaget.
“Buang sial,” Hannah nyengir, di
tangannya ada atlas anatomi tebal. “Heh, dicari Jun tuh, katanya dia mau minjem
cranium...” Hannah beralih memandang Raga.
“Oh, iya,” Raga menepuk dahinya,
raut mukanya kelihatan baru saja menyadari apa yang dia lupakan. Cranium yang
dibicarakan anak-anak semester dua ini adalah model tulang kepala manusia–tengkorak–yang
dibuat oleh manusia dan digunakan untuk mempelajari anatomi tulang manusia yang
sebenarnya. Tentu saja tidak mungkin mereka belajar dengan cranium asli. Biasanya
anak-anak yang mau belajar dengan menggunakan cranium palsu harus meminjam ke Fakultas
Kedokteran Umum dengan membayar sekian rupiah untuk jangka waktu tertentu.
Raga buru-buru menghabiskan
supnya yang tinggal sedikit, lalu beranjak dari kursinya.
“Kak, aku duluan ya...” pamit
Raga, dan ketika dia melewatiku, dia menepuk-nepuk bahuku. Kupandangi dia
berlari keluar dari kantin dan menemui teman-teman yang sudah menunggunya.
Sekarang di hadapanku ada Hannah
yang dengan ceria membuka-buka atlas anatominya.
“Raga itu pinter ya Kak?” ujar
Hannah.
“Hah? Mana kutahu,” kataku jujur,
karena aku sama sekali tidak pernah mendengar cerita bahwa Raga ranking 1 di
kelas, atau hal-hal semacam itu.
Hannah tertawa. “Maksudku aku
ngasih tahu. Dia sering dimintain tolong ngejelasin anatomi...”
Belajar anatomi memang sulit
sekali kalau dilakukan sendirian–kecuali kalau kau merasa bisa melakukannya
sendirian–maka kau butuh bantuan teman yang sudah mengerti untuk membuatmu
mengerti juga. Disinilah biasanya ketahuan mana anak-anak yang dengan suka rela
memberi ilmu pada teman-temannya, atau anak-anak yang pelit sekali memberi
penjelasan. Anak-anak yang baik itu juga terbagi lagi, mana yang menjelaskan
dengan enak, dan mana yang menjelaskan dengan menggurui, atau yang menjelaskan
dengan sok tahu.
Sementara Hannah berkomat-kamit
menghapal bagian-bagian tulang belakang alias vertebra cervicalis, pandanganku tertuju
pada seorang gadis dan teman-temannya yang berjalan penuh pesona dari arah
perpustakaan. Itu Fazzie, Fazyra Sastranty, pacarnya Satria Maheswara Pambudi, yang
hari ini mengenakan blus biru muda dengan rok lipit biru bunga-bunga selutut. Dan
kebetulan juga si Satria Maheswara Pambudi yang kita bicarakan sejak pagi itu,
yang sekarang ada di kantin bagian luar bersama Oki dan Wira dan Brian dan yang
lain-lain, mengenakan kemeja biru polos dengan jins hitam.
Janjian
pake baju yang sama, ya.
Menyebalkan.
Dari dalam kantin, kualihkan
pandanganku dari pemandangan Fazzie dan teman-temannya yang tak kalah cantik
dari dia, yang sudah bertemu dengan Satria.
“Anak itu cantik, ya...” aku
mendengar seseorang di meja sebelahku berkata.
“Pacarnya yang itu ya, siapa tuh,
kapten futsal...”
“Cocok sih, ceweknya cantik,
cowoknya ganteng gitu...”
“Baru jadian kan, mereka?”
“Eh, tapi inget nggak sih, waktu
basket itu lho... kan ada yang nembak juga, pake bola basket.”
“Ini bukan sih anaknya? Yang pake
kemeja pink di belakangmu.”
Kakak-kakak angkatanku itu
bergosip ramai tentang Fazzie dan Satria. Dan Raga dan aku.
Memang
cocok sih, cantik, ganteng...
“Han, aku pake headphone ya...” izinku pada Hannah yang
menghapal dengan mata terpejam. Hannah mengangguk-angguk, mengiyakan.
Kupasang headphone dan kuputar lagu dengan volume super kencang agar tak
perlu mendengar gosip-gosip yang bertebaran di seisi kantin.
Kenapa ya, akhir-akhir ini dunia
nggak berputar di sekelilingku, lagi?
*
* *
Awan mendung yang terkumpul sejak
pagi akhirnya bocor juga, tepat ketika dosen Farmakologi-ku menutup kuliah
dengan slide bertuliskan ‘terima kasih’. Aku menjawab dengan ‘sama-sama’,
membereskan barang-barangku dengan santai karena hujan mendadak turun dengan
deras di luar sana.
“Yah, hujan ya?” celetuk
seseorang.
“Hah, hujan?” tanya temanku tak
percaya.
“HUJAN?”
“HUJAN???”
Histeria sesaat melanda kelas
kami.
“Aduh, cucian, cucian!” seru
temanku, disambut dengan dengusan tertawa temanku yang lain.
“Waduh... nggak bawa jas
hujan...” sesal salah satu teman Satria.
“Cin, bawa payung nggak? Bareng
ya pulangnya...” pinta temanku yang kosannya dekat dengan kampusku.
Hujannya lebih deras daripada
yang kuperkirakan. Aku tak bisa kemana-mana tentunya, dengan hanya bermodalkan
sepeda dan jas hujan. Mama juga sudah memperingatkanku agar tidak nekat
menerobos hujan sembari bersepeda. Aku sudah memutuskan dari awal untuk mematuhi
Mama, karena aku sendiri juga takut kalau harus sepedaan dan hujan-hujanan
sekaligus. Aku suka keduanya, hanya saja kalau dipisah.
Maka aku menunggu hujan mereda di
depan gedung kampusku. Anak-anak yang lain juga menunggu disana, beberapa yang
mengendarai mobil menembus hujan untuk menuju mobil mereka, dan beberapa saat
kemudian mobilnya lewat, klaksonnya dibunyikan tepat di depan kami yang
menunggu hujan, pamit pergi duluan. Anak-anak yang naik motor juga memutuskan
untuk ke parkiran, mengenakan jas hujan, dan pulang dengan motor mereka.
“Maya, duluan ya? Aku ada janji
sama Bunda...” kata Oki, yang melihatku menunggu hujan reda dengan menyedihkan.
“Iya, salam ya...” kataku pada
Oki. Kuamati dia dari kejauhan, memasang jas hujannya, menyalakan motornya,
lalu melewatiku dengan motornya keluar dari gerbang kampus.
Lima menit kemudian aku merasa
perutku lapar, maka aku memutuskan untuk bertandang sejenak ke warung kecil
yang ada di dekat laboratorium anatomi dan biokimia, tempat seorang ibu
berjualan gorengan dan kue-kue ringan.
Di depan laboratorium anatomi
masih ramai anak-anak semester dua yang komat-kamit bicara bahasa latin. Praktikumnya
memang dibagi per shift dan per kelompok.
Kudapati Raga duduk di depan lab bersama teman-temannya, yang langsung berseru-seru
melihatku mendekat kesana.
“Kak! Kak! Raga nih!” seru mereka
norak. Raga yang awalnya duduk, dipaksa berdiri dan dia melompat ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku sambil berjalan
menuju warung–kelaparanku semakin menjadi. “Kamu belum masuk?”
“Udah...” kata Raga yang berjalan
mengiringiku, menggaruk kepalanya. “Kakak... pulangnya tunggu reda, ya?”
“Iya lah, aku kan bawa sepeda,”
kataku heran, selagi memilih-milih gorengan yang disajikan. “Ini berapa, Bu?”
tanyaku pada ibu-ibu penjual.
“Kali aja Kakak mau nekat
hujan-hujanan.”
“Males banget,” aku tertawa.
“Syukurlah,” Raga ikut tertawa.
“Aku duluan ya,” kataku ketika
berpisah dengan Raga di depan laboratorium anatomi.
Raga tersenyum manis.
“Cieeee...” keras terdengar
ketika aku menjauh dari kerumunan anak-anak semester dua itu. Aku
menggeleng-geleng tak peduli.
Kuhabiskan gorengan yang kubeli
dan aku kembali menunggu redanya hujan di depan gedung. Anak-anak yang berteduh
datang dan pergi, ketika mereka memutuskan bahwa hujan sudah agak reda dan
mereka sudah bisa pulang.
Tak lama kemudian aku melihat Satria
berlari-lari dari sisi gedung yang dihujani air dan dia berteduh di dekatku. Ditepuk-tepuknya
badannya, menjatuhkan tetes-tetes air yang tadi menghujaninya. Aku hanya
melirik sedikit, kemudian bersikap tidak peduli. Beberapa menit berlalu tanpa ada
pembicaraan di antara aku dan Satria.
Lalu muncullah Fazzie dan
teman-temannya dengan sebuah payung besar yang tidak muat untuk mereka berempat,
sehingga mereka tertawa-tawa kegirangan ketika tidak sengaja terkena air yang
menetes. Fazzie berlari-lari kecil menghampiri Satria, parfumnya yang menyengat
sudah tercium dari jarak dua meter.
“Aku duluan ya, aku bareng Ara...”
aku mendengar Fazzie bicara, ditimpali teman-temannya yang bersahut-sahutan
centil (“Satria, pinjem Fazzie-nya dulu, ya...”, “Jangan kangen ya, Sat!”, “Nggak
usah sedih gitu, Satriaaa.”). Fazzie mengelus tangan Satria dengan lembut.
Satria tersenyum, lalu menepuk-nepuk kepala Fazzie sambil berkata “Hati-hati,
ya.”
Aku berpura-pura tidak melihat
peristiwa itu. Kugosok-gosokkan kedua telapak tanganku sembari menghembuskan
napas diantaranya, menghangatkan diri. Kemudian kulihat Fazzie dan
teman-temannya berlari-lari kecil sembari tertawa-tawa lagi di bawah payung mereka,
menuju parkiran mobil. Mobilnya berjalan pelan ketika melewati kami, dan Fazzie
menurunkan jendelanya untuk memberi salam perpisahan pada Satria.
“Apa aku beli mobil aja, ya,”
kata Satria tiba-tiba, membuatku menoleh padanya. Dia menggaruk-garuk kepalanya
melihat mobil Ara menjauh.
Aku memutar bola mataku. “Kamu
membicarakannya seperti hendak membeli makan siang.”
Satria tertawa lemah. “Iya juga
ya.”
Aku tidak menyahut apa-apa lagi
dan kuperhatikan tetes-tetes air yang membentuk genangan di depanku.
Sepuluh menit kemudian kami
hening lagi. Kulirik jamku. Sudah pukul setengah empat sore, setengah jam sejak
kami berteduh. Hujan sudah rintik-rintik, tapi agak deras. Aku pun penasaran
kenapa Satria tidak pulang saja sedari tadi dan membiarkanku menunggu hujan
tanpa ada gangguan.
“Tambah deres aja hujannya,”
komentar Satria, begitu suara hujan yang turun semakin cepat dan tetesan air
justru semakin banyak. “Badai nih.”
Aku hanya tersenyum kecil.
Beberapa anak-anak semester dua
seangkatan Raga dan Hannah keluar dari gedung kampus seusai praktikum anatomi. Mereka
berlari-lari menuju tempat parkir motor, atau mengeluarkan payung dan langsung
pulang. Tak lama kulihat Raga keluar, menyandang tas ranselnya, dan masih
memakai jas praktikum putihnya.
“Lho, Kak Maya?” dia terperangah
melihatku berteduh disana. “Kak Satria,” dia menyapa Satria, yang mengangguk.
“Hujannya tambah deres,” kataku,
menjawab pertanyaan Raga yang tak terkatakan. Dia memandangku, kemudian
memandang Satria, kemudian memandangku lagi.
“Kenapa?” tanyaku tertawa. “Pulanglah...”
Raga ragu sejenak. Aku tersenyum,
kemudian mulutku mengucapkan ‘gwaenchana’
tanpa suara. Akhirnya Raga tersenyum. Dia menghampiri Satria, berjabat tangan,
saling menepuk bahu, dan berbicara sejenak.
“Belum pulang Kak?” tanya Raga.
“Nggak bawa jas hujan gue,
hahaha.”
Oh,
pantesan.
“Duluan kalo gitu...” Raga pamit,
dan dia berlari mundur sembari melambai padaku.
“Eh awas nabrak...” gumamku
melihat Raga berjalan mundur, nyengir, kemudian dia berbalik dan lari-lari
lagi. “Dasar!”
“Lho, kamu nggak pulang?” tanya
Satria kemudian, setelah dua orang yang sedari tadi berteduh bersama kami sudah
pergi.
“Nunggu hujan,” kataku tanpa
melihat Satria.
“Oh,” kudengar Satria bicara.
Ngapain
nanya, pikirku
kesal.
“Nggak bareng... Raga?”
Aku tak tahu mana yang membuatku
menoleh padanya, apakah karena Satria mengucapkan nama Raga, atau karena Satria
mengira aku akan pulang bersama Raga, yang jelas Satria berhasil membuatku
menengok lagi padanya.
“Kirain kamu nunggu Raga. Kan...”
Kusela dia sebelum dia berhasil
menyelesaikan kalimatnya. “Aku belum nerima Raga, kok.”
“Oh,” kata itu lagi. “Kupikir...”
Aku menggeleng. “Enggak, kok.”
“Enggak atau belum?” tanya Satria
dengan nada menggoda.
“Entahlah,” aku tersenyum dingin.
Hujan akhirnya reda. Berhenti
total. Aku memasang headphone dan
beranjak dari tempat berteduhku, lega karena bisa lepas dari Satria, dan
menegur Satria yang tampaknya sedang mencari-cari kunci motor di dalam tasnya.
“Duluan, ya,” aku menoleh
padanya, tersenyum kecil.
“Oh, iya,” kata Satria.
Aku lalu berlari ke tempat aku
menyimpan sepedaku. Sepedaku basah, dan ada sesuatu di keranjangnya, terbungkus
plastik tebal. Terbungkus memang, tetapi tetap bisa memperlihatkan isi di
dalamnya: setangkai mawar warna pink. Mawar asli, bukan plastik. Aku melongo.
Tetapi aku tersenyum ketika
membaca tulisan di secarik kertas di dalam plastik itu.
Yang
kemarin kurang satu.
*
* *