The Ring
Aku berdendang riang di pagi yang
masih dingin itu, menggumamkan lagu yang terdengar dari headphone dan mengayuh sepeda dengan lancar. Kemudian aku berhenti sejenak
di jalan raya yang sepi, melihat situasi jalan, hendak menyeberang ke jalan
yang mengarah ke kanan, ke kampusku. Jalan itu terbagi oleh pembatas jalan menjadi
dua lajur, dan aku keluar dari jalan yang tidak membolehkan pengguna jalan
berbelok ke kanan–aku harus memutar dulu. Tetapi ada jalan kecil untuk sepeda
di depan jalanku keluar, yang dibatasi oleh sekat-sekat dari besi, yang satu
ruangnya cukup untuk dilewati sepeda.
Tanpa turun dari sepeda, aku
meluncur menyeberangi jalanan yang kosong, menghampiri sekat-sekat besi itu,
dan mengatur sedemikian rupa hingga aku bisa melewati ruang kecil itu.
Atau kupikir begitu.
Karena ternyata rantai sepedaku
terantuk besinya, dan karena aku bingung kenapa aku tidak bisa jalan-jalan
juga, maka aku mendorong sepedaku sedikit lagi–yang akhirnya malah menabrakkan
sepedaku lagi ke besi itu. Ketika kupikir seluruh bagian sepedaku sudah
melewati sekat-sekat besi, kuletakkan kakiku ke pedal untuk mulai mengayuh.
Tapi pedalnya hanya bergerak
tanpa menggerakkan rantainya. Aku nyaris tergelincir.
“Ah,” aku menunduk melihat rantai
sepedaku. “Ck, pake acara lepas segala sih...”
Aku sedikit panik. Reaksi yang
standar. Kupinggirkan sepedaku ke tepi jalan dan kulihat kondisinya. Rantainya
lepas dari tempatnya berputar, makanya pedalnya tidak mau menggerakkan sepedaku
maju.
Aku mencoba memperbaiki rantainya
sendiri. Tetapi karena aku masih panik dan deg-degan, tanganku gemetaran, dan
aku menyerah pada percobaan pertama.
Tenang,
tenang, gumamku,
jangan panik. Ini pasti bisa diperbaiki,
asal kamu tenang.
Setelah menenangkan diri (yang
agak gagal, karena napasku masih terengah-engah dan aku masih bingung) aku
mencoba memperbaiki rantaiku lagi. Tanganku belepotan, jari-jariku jadi hitam.
Kulirik arlojiku. Jam enam lewat
dua puluh. Jantungku berdebar lebih cepat. Kucoba lagi untuk mengatur posisi
rantaiku. Tetapi hasilnya nihil. Dan aku tidak bisa memikirkan hal lain yang
bisa kulakukan–misalnya apa? Kembali ke rumah dan meminta Oki menjemputku? Meminta
tolong orang yang lewat di jalan?–karena aku terlalu panik dan takut.
Sebuah motor mendadak berhenti di
dekatku. Aku memasang posisi waspada, berpura-pura tidak peduli dan
berkonsentrasi penuh pada sepedaku.
“Need help?” tanya seseorang–suaranya cowok, dan rasa-rasanya aku
mengenal suara ini.
Aku mendongak. Cowok itu membuka
kaca helmnya dan menunduk memandangiku.
“Oh,” ujarku, dan aku punya satu
alasan lagi untuk memacu detak jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya,
“Satria.”
“Rantainya lepas?” tanya Satria, yang sudah
menaruh helmnya di kaca spion motor.
Aku mengangguk. Kamu bisa lihat sendiri, kan? Aku
berusaha menyembunyikan jari-jariku yang hitam.
“Coba sini,” kata Satria, dan dia
berjongkok di sebelahku. Aku bisa mencium wangi parfum Satria yang menguar dari
jaket abu-abu yang dikenakannya.
Satria mulai mengutak-atik
rantaiku. Pertama dia menaikkan rantai bagian atas, kemudian memutarnya,
kemudian memposisikan rantai bagian bawah, kemudian memutarnya lagi, dan rantaiku
kembali seperti semula. Dia memutar-mutar pedalnya yang sudah bekerja dengan
baik lagi.
Aku menghela napas lega, tanpa
kusadari. Satria tersenyum melihat hasil kerjanya.
“Nih,” katanya, menepuk-nepuk
tangannya yang kotor juga.
“Makasih,” ujarku, hampir
menangis dan ingin memeluknya. Makasih,
makasih, makasih.
“Yup,” sahutnya. “It’s nice to help you...”
Aku punya beberapa pertanyaan
yang ingin kuajukan pada Satria pagi itu. Dia juga tampaknya tidak ingin
buru-buru pergi, karena dia mencari-cari sesuatu di tasnya.
“Kamu selalu berangkat pagi-pagi
gini?” tanyaku, berusaha terdengar tidak peduli.
“Ng?” dia bergumam, tidak fokus.
“Oh... enggak, sih...”
Mau
jemput Fazzie, ya.
Aku menarik napas panjang, dan
mengangguk-angguk mengerti. Tak ingin dengar lebih lanjut (karena tak ingin
merusak perasaanku yang amat bahagia juga), aku menaiki sepedaku dengan cepat.
“Kalau gitu...”
“Eh, tunggu, ini,” Satria selesai
dengan pencarian sesuatu-nya di tas, dan dia mengulurkan saputangan padaku.
“Tangannya dibersihin dulu...”
Kalau aku tidak salah ingat itu
adalah saputangan yang diberikan Satria beberapa juta tahun yang lalu padaku, ketika aku mimisan dan kebetulan
bertemu dengan dia juga.
Kebetulan seperti ini.
Jarang sekali terjadi.
“Oh,” aku menerima saputangannya.
“Trims.”
Satria mengangguk, dan dia
menaiki motornya sementara aku membersihkan tanganku. Satria menyalakan mesin
motor, memakai helmnya, menguncinya, dan membuka kaca helmnya. Matanya,
satu-satunya yang bisa terlihat dari helm yang menutupi wajahnya itu, menatapku
lekat-lekat.
“Aku duluan, ya,” kata Satria
sengau, karena terhalang helm. “Kamu hati-hati.”
Aku mengangguk kecil, membuka
mulut, tetapi Satria sudah meninggalkanku dengan kalimatku yang tidak jadi
kukatakan.
Selama beberapa detik kemudian aku
tidak mau mempercayai apa yang baru saja terjadi.
*
* *
Setelah insiden kecil itu, aku mengayuh
sepeda dengan pelan, takut tiba-tiba rantainya lepas lagi. Begitu aku tiba di
kampus, beberapa teman sudah datang.
Tapi, tidak ada Satria.
Bukannya aku mengharapkannya
sudah datang. Aku bisa menebak kalau dia langsung menuju kosan Fazzie begitu
selesai menolongku tadi pagi. Sudahlah.
Tempat duduk favoritku sudah
diduduki orang. Akhirnya aku duduk di belakang Tari.
“Halo, Maya,” katanya, berbalik
ke belakang.
“Halo,” kataku. “Kamu presentasi
ya hari ini?” tanyaku, mengacu pada baju warna merah yang dikenakannya, seragam
dengan beberapa temanku yang lain. Biasanya memang anak-anak janjian untuk
pakai baju dengan warna senada untuk presentasi mata kuliah tertentu.
“Iya,” Tari manyun. “Kamu udah
ya? Senengnya...”
Aku tersenyum. NIM-NIM yang akhir
memang biasanya ketiban rejeki presentasi
yang berturut-turut dalam satu minggu. Sementara NIM-NIM awal sudah santai
waktu akhir semester, karena sudah presentasi sebelum UTS.
Kupandangi teman-temanku yang
berbaju merah dan sibuk komat-kamit menyiapkan presentasi mereka hari itu. Oh,
pantas saja mereka datang pagi-pagi sekali. Tidak
biasanya, pikirku, orang-orang ini
datang terlalu pagi seperti ini.
Pukul tujuh tepat dosen kami
datang (diiringi Oki di belakangnya, yang juga baru datang) dan langsung
mempersilakan kelompok yang presentasi untuk membahas bahannya. Kelas hening,
beberapa ada yang mengobrol dengan suara pelan di deretan belakang. Aku
terdiam, bukan memerhatikan temanku yang sedang presentasi, tetapi bengong
karena tidak mengerti. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, bingung kenapa
cowok yang satu itu tidak datang-datang juga.
Pintu kelas berderit terbuka. Ada
yang baru datang. Nyaris serentak, teman-teman sekelasku menoleh ke belakang.
“Cie...” terdengar di seisi
kelas.
Satria dan Fazzie masuk kelas.
Aku langsung memalingkan muka dan
memandang dalam-dalam Tari si presentator yang berhenti sebentar untuk
membiarkan anak-anak selesai menggoda Satria dan Fazzie.
“Yak, selamat datang untuk yang
baru datang, silakan duduk...” kata Tari sambil tersenyum. Anak-anak tergelak
sedikit.
Aku tidak tersenyum.
Untunglah, Satria dan Fazzie tidak duduk
berdampingan. Kalau mereka sampai duduk berdampingan, dan aku kebetulan
melihatnya, aku tidak tahu bagaimana aku harus menyikapinya–mungkin aku akan
mengeluarkan tetes-tetes air lagi sampai kantungnya kering. Satria mengambil
posisi di sebelah Oki di deretan belakang seperti biasa, dan Fazzie terpaksa
duduk di deretan depan karena barisan tengah sudah penuh semua. Aku sampai
heran, biasanya Fazzie dan teman-teman cantiknya selalu duduk di empat kursi di
deretan yang sama. Hari itu teman-teman Fazzie tidak menyisakan satu kursi
untuk Fazzie.
Tapi aku tidak peduli.
Yang aku pedulikan adalah
bagaimana suara Satria terdengar sengau hari itu. Dia menggunakan mic untuk
bertanya pada kelompok presenter dan suaranya serak, ditambah sedikit
batuk-batuk. Sepertinya dia sakit. Masuk angin, mungkin.
Sesaat aku sudah akan peduli dan
merasa kasihan pada Satria, sampai ketika jam itu berakhir dan kami pindah ke
ruang sebelah untuk kuliah selanjutnya, aku tidak sengaja memilih tempat duduk
di belakang Fazzie dan teman-temannya.
Fazzie batuk-batuk.
“Kamu sakit ya?”
Salah satu temannya menyodorkan
tisu untuk Fazzie mengusap hidungnya.
“Flu, kayaknya.”
“Jangan keluar malem terus
lah...”
“Kemarin aku ketemu kamu kan sama
Satria jam sepuluh malem di KFC, ngapain?”
Fazzie hanya tersenyum, dan
bicara dengan suara yang sengau.
“Itu ngerjain tugas konser...” kata Fazzie.
Oh,
jadi Fazzie dan Satria sama-sama lagi sakit, gara-gara sering keluar malem? gumamku menyimpulkan. Bagus deh. Seneng liat mereka kompakan gitu.
Aku juga baru sadar hari itu
mereka pakai baju sama lagi. Warna ungu.
Sial,
itu kan warna kesukaanku.
*
* *
Bertemu Raga siang hari itu lumayan
membuat mood-ku naik setelah seharian
cemberut. Dia memintaku membantunya menghapal materi untuk praktikum Histologi hari
itu dan jadilah aku makan mie ayam sembari menunjukkan kartu-kartu gambar
Histologi pada Raga untuk mengetesnya.
“Udahan ah Kak, males,” katanya
setelah dua puluh gambar terlewati dengan mudah. Dia berhasil menjawab
pertanyaan yang kuajukan–mulai dari sediaan yang digunakan, nama preparat, pewarnaan
preparat, maupun sel-sel yang ada di gambar.
“Lagian kamu udah oke kok,”
kataku, dan menyantap mie ayamku dengan senang. “Udah hapal semua... kalau
kayak gini sih pra-responsi maupun responsi kamu pasti bagus.”
“Tapi kan tetep aja, Kak...” Raga
menguap sambil memukul-mukul bahunya. “Aku pesen makan dulu ah.”
“Aku minta es teh satu lagi
dong,” pintaku, kepedasan karena terlalu banyak sambal yang kutambahkan ke
mangkuk mie ayamku.
Raga mengangguk dan beranjak ke
salah satu counter untuk memesan
makan siangnya. Aku mengamati buku praktikum Histologi-nya. Gambarnya bagus
untuk ukuran anak cowok. Tidak asal-asalan seperti punya Oki dulu (yang
besar-besar tak beraturan), tapi juga tidak terlalu mendetil seperti milik
Hannah (yang kecil-kecil dan rapat-rapat).
“Makan apa kamu?” tanyaku, begitu
dia datang, dan herannya, dia membawa nampannya sendiri yang berisi sepiring
gado-gado dan dua gelas es teh. “Kenapa dibawa sendiri?”
Raga nyengir. “Nggak apa-apa,”
dia meletakkan segelas es teh ke dekat mangkukku, meletakkan piring gado-gado
di mejanya, dan segelas es teh lagi di dekat piringnya. Kemudian dia kembali ke
counter makanan, untuk mengembalikan
nampannya.
“Berasa di KFC aja,” gumamku
bingung, lalu menyedot es tehku.
Sedotanku menyentuh sesuatu yang
tergeletak di dasar gelas, dan karena kaget aku langsung berhenti minum dan
mengecek ‘sesuatu’ itu. Kupikir itu es batu, namun setelah teringat pelajaran
SD bahwa es itu mengapung dan tidak tenggelam, kutarik lagi hipotesisku. Aku
mengangkat gelasku, dan melongo selama sekian detik melihat apa yang ada di
dalamnya. Nafsu makanku mendadak hilang.
“Raga,” kataku bergetar, begitu Raga kembali
dan duduk manis di kursinya di hadapanku, “ini apa maksudnya?”
Kubuka genggaman tanganku, dan
menunjukkan pada Raga, sebuah cincin
yang basah sehabis direndam dalam es teh.
*
* *
Kukira aku tidak bisa dikagetkan
lagi oleh hal-hal yang dilakukan Raga. Siang itu sebelum dia menyentuh
gado-gadonya untuk makan siang, dia memintaku (lagi!) untuk jadi... yah, kau
tahulah. Aku masih terbengong-bengong, cincin yang nyaris mirip dengan cincin
di trilogi The Lord of The Ring itu
masih ada di telapak tanganku.
“Tapi aku nggak bisa nerima
cincin ini, Ga... ini terlalu..” tolakku, dan Raga tersenyum. Aku langsung
berhenti.
“Setidaknya, kalau noona nggak bisa nerima perasaanku,
terima aja cincin itu,” ujar Raga, dan dia menambahkan, “noona.”
Mulutku membuka-menutup seperti
ikan, tak tahu harus bicara apa.
“Maaf, Ga... tapi... aku...
cincin ini... nggak bisa...” kataku terbata-bata, meletakkan cincin itu di meja.
“Maaf...”
Raga tertawa pahit, setelah selama
tiga menit terakhir ini memandangiku dengan mata sipitnya yang lucu. “Wah, aku
ditolak lagi,” kata Raga, mengacak rambutnya. “Noona... what should I do to
make you love me?”
Jantungku masih berdegup kencang
kalau mengingat kata-kata Raga siang tadi. Tanganku masih bergetar kalau
mengingat rasa dinginnya cincin yang Raga rendam di dalam es teh tadi. Dan air
mataku masih ingin mengalir kalau mengingat kejadian-kejadian yang Raga lakukan
untukku.
Raga
terlalu baik. Amat baik...
Mirip
Yudha... terlalu mirip.
Aku tercenung. Apa gara-gara itu?
Gara-gara Raga terlalu sering mengadakan kejutan-kejutan super mengharukan
(baca: romantis) seperti Yudha, maka aku berusaha sebisa mungkin tidak menyukai
Raga? Karena Raga terlalu mirip Yudha?
Karena aku tidak ingin kehilangan
orang seperti Yudha, lagi...
Akan terlalu menyedihkan kalau
aku dan Raga berakhir seperti aku dan Yudha.
Terlalu...
Lamunanku terputus oleh dering handphone-ku.
“Halo...” kataku lemah.
“Ngapain, oi?” tanya Kak Nathan
riang.
“Ngelamun...” jawabku mengantuk. “Kak...”
“Ya? Kenapa lagi kamu?”
“Si Satria hari ini nolongin aku...”
“Nolongin apa?”
“Rantai sepedaku lepas di jalan,
eh ada dia lewat, terus dia nolongin aku. Dia ngasih saputangannya, soalnya
tanganku kotor. Tapi habis itu dia pergi lagi, kayaknya jemput ceweknya, terus
mereka dateng barengan masuk kelas, benci banget, pake disorakin lagi sama
anak-anak...”
“Hm, hm,” Kak Nathan bergumam
ketika aku berhenti.
“Terus mereka pake baju sama coba
Kak, warnanya ungu, ungu! Udah gitu sakit bareng-bareng gara-gara suka keluar
malem. Apa coba! Aku nggak pernah keluar malem, tapi kok pilek juga!”
Kak Nathan tertawa mendengar
keluhanku.
“Gimana nih, Kak...” aku manyun.
“Kamu itu lho kapan dewasanya,”
kata Kak Nathan geli. “Kalau Satria udah punya pacar, ya udah! Maksudku, jangan
salahartikan perhatian dia tadi...”
Kata-kata Kak Nathan barusan (”Satria
sudah punya pacar!”) menusuk sekali di hatiku.
“Tapi kan...”
“Kamu ngerasa kehilangan
gara-gara Satria sekarang bareng-bareng Fazzie?”
“...iya...”
“May... dia itu belum pernah jadi
milikmu,” kata Kak Nathan, terdengar tegas.
“Lalu?”
“Apa yang tidak pernah kamu
miliki harusnya nggak akan membuatmu merasa kehilangan, kan?”
...benar. Aku terpaksa mengakuinya...
“Sampai kapan kamu mau ngegantung
Raga? Sampe besok? Sampe kamu lulus? Sampe jadi dokter gigi?”
Aku cuma bisa terdiam.
“Coba deh kamu pikirin
perasaannya Raga,” kata Kak Nathan. “Coba kamu ada di posisi Raga. Apa yang
kamu rasain?”
Aku terkesiap.
“Coba jujur sama diri kamu
sendiri, Maya. Dan dewasalah.”
Kak Nathan menutup telepon, meninggalkanku
yang masih terdiam, dan berpikir, lama sekali.
Sore itu sebelum mandi dan
menyiapkan makan malam, aku mengirim pesan singkat pada Raga.
To:Raga
16:07
The
ring just now can be worn, right?
From:Raga
16:10
Wah,
noona terdengar seperti Ji Hyo noona... :)*
*
* *
*dari Running Man episode 16